Tuesday, April 12, 2016

Uskup Agung Filipina, Socrates Villegas, tentang Homili yang Membosankan


Ringkasan pesan Uskup Agung pada para imamnya
=====================================================
Kamis, 2 April, 2015.


Uskup Agung Socrates Villegas, Kepala Konferensi Uskup Filipina.

MANILA, Filipina. Hari ini kita melakukan perjalanan spiritual lagi ke Ruang Atas untuk mengingat imamat kita. Kita datang lagi untuk berterima kasih kepada Tuhan yang telah memanggil kita untuk menjadi imam. Tuhan mengambil risiko. Dia mempercayakan kepada kita Gereja-Nya. Semakin lama kita tinggal dalam panggilan ini, semakin jelas kita lihat bahwa dibutuhkan lebih dari kekuatan kehendak untuk tetap menjadi imam yang baik. Diperlukan anugerah. Kita membutuhkan Tuhan. Kita membutuhkan Tuhan untuk tetap fokus. Kita membutuhkan Tuhan untuk tetap berada di jalur. Kita membutuhkan Tuhan untuk melindungi kita dan memelihara kita.

Kita telah melihat banyak penyalahgunaan di antara para klerus -- penyalahgunaan alkohol, pelecehan seksual, pelecehan anak,  penyalahgunaan uang, dll. Hari ini, saya mengajak Anda untuk mengarahkan hati Anda pada penyalahgunaan lain yang sangat merajalela dan meluas di kalangan imam - penyalahgunaan homili. Ya, penyalahgunaan dari kebaikan umat yang dipaksa untuk mendengarkan homili yang panjang, berliku-liku, berulang-ulang, membosankan, tidak terorganisasi, tidak dipersiapkan (dengan baik), dan (diucapkan dengan) bergumam. Dengan nada bercanda tapi ada benarnya, umat bilang bahwa homili kita adalah salah satu penderitaan (salib) yang wajib (dipikul) setiap hari Minggu.

Jika Anda mendengarkan dengan lebih cermat apa yang dikatakan umat kita tentang homili kita, mereka tidak mengeluhkan tentang dalamnya pesan atau eksegesis ilmiah. Mereka diminta untuk tahan (mendengar), dari Minggu ke Minggu, homili kita yang tidak bisa dipahami karena pendahuluannya begitu panjang, kita tidak tahu bagaimana cara menuju langsung ke sasaran, dan kita tidak tahu bagaimana mengakhiri (homili). Persiapkanlah. Bicara yang jelas.
...
...
...
Bagaimana kita dapat bangkit dari budaya penyalahgunaan homili? Apa obatnya?

Yang pertama adalah ketulusan imam. Anda bisa berkotbah pada (umat) yang perutnya kosong jika perut pastor paroki juga kosong seperti umatnya. Homili kita akan lebih baik jika kita mengurangi kesenangan kita berbicara dan meningkatkan kesenangan kita untuk mendengarkan....

Tantangan kedua kita adalah kesederhanaan -- kesederhanaan pesan dan bahkan lebih dari itu, kesederhanaan yang lebih besar dalam kehidupan. Kesederhanaan hidup juga akan membantu kita untuk berhenti bicara tentang uang dan penggalangan dana pada homili; bicara tentang uang tidak pernah mendidik. Kesederhanaan berarti tidak menggunakan mimbar sebagai sarana untuk menyerang orang-orang yang menentang kita... ... Kesederhanaan dalam homili membuat orang menundukkan kepala dan menepuk dada karena ingin berubah, mencari belas kasih Tuhan. Menjadi sederhana adalah menjadi besar di mata Tuhan. Gaya hidup sederhana dari imam adalah homili yang paling mudah untuk dipahami.

Tantangan ketiga dan terakhir adalah panggilan untuk belajar. Membaca dan belajar tidak harus berhenti setelah seminari...
...
...
Berhati-hatilah pada setiap homili. Mereka ingin mendengar Yesus dan bukan Anda; hanya Yesus, selalu Yesus.

Berhati-hatilah dengan homili Anda. Kasihani umat Tuhan. Hentikan penyalahgunaan homili. Biarkan homili Anda mengilhami dan membuat hati bernyala-nyala.

Sumber: http://www.rappler.com/nation/88758-bishop-warning-homily-abuse

Wednesday, April 6, 2016

Pembuangan dan Pengasingan Jorge Bergoglio (Paus Fransiskus sekarang) -- Bagian 3


Disadur dr laporan wartawan CNN (lihat link di bawah)

Baca tulisan sebelumnya:  Pembuangan dan pengasingan Bergoglio (2)
--------------------------------------

Waktu datang ke Kamar No 5 di Cordoba ini, Bergoglio tidak diberi tugas khusus. Setidaknya, tak ada yang memerlukan banyak pikiran atau waktunya.

Tugas resminya adalah mendengar pengakuan dosa, duduk di kamar sambil menunggu terdengar bunyi bel, tanda bahwa ada beberapa jiwa yang merasa bersalah dan ingin melepaskan diri dari beban dosa.

Beberapa orang yang akan mengaku dosa menghindari imam dengan wajah serius ini. Ada yang bisik-bisik bahwa dia tidak sehat.

Kadang-kadang, Bergoglio mempersembahkan misa, menggantikan imam kepala gereja. Dia mencoba menyelesaikan tesis doktornya, tapi, seperti halnya dengan banyak proyek lama yang ditunda-tunda, api ilham telah redup. Dia sisihkan, tidak selesai.

Sebaliknya, ia banyak membaca dan berdoa, berpikir dan menulis, mengingat2 kejadian masa-masa kecilnya, tentang masalah-masalah yang mengganggu umat beragama. Dia melahap buku sejarah para paus yang lima jilid tebalnya.

Jika butuh perubahan suasana, Bergoglio berjalan ke Iglesia de Cristo Obrero; akan tampak sosok sendirian, berjubah hitam, yang mengikuti aliran Sungai Primero yang lembut mengalir di antara dinding batu yang tinggi.

Saya ingin tahu lebih banyak tentang apa yang dilakukan Bergoglio di Cordoba, bagaimana dia mengisi hari2nya yang panjang, maka saya kunjungi Ricardo Spinassi, yang mengurus rumah tangga di sana selama 33 tahun.


Ricardi Spinassi, pengurus rumah tangga

Spinassi bercerita, teman lamanya itu makhluk dengan kebiasaan rutin.

Dia mulai setiap hari dengan tugas yang sama, mencuci salah satu dari dua pasang nya kaus kakinya, dan makan makanan yang sama - sayuran dan ayam - untuk makan siang, setiap hari.

Di pagi hari, dia berdoa di kapel, sendirian dengan tulang-tulang orang-orang kudus Yesuit yang ditaruh di situ.

"Dia ada di sana sebelum wanita2 tua yang biasa datang ada di situ," kata salah satu Jesuit dengan tersenyum.

Pada sore hari, sementara saudara-saudara lainnya mulai tidur siang setelah makan siang, Bergoglio menundukkan kepala berdoa di depan patung St. Joseph, tokoh favoritnya sejak kecil.

"Dia berdoa seperti orang suci," kata Spinassi.



Kapel tempat Bergoglio berdoa setiap pagi.

Bergoglio sering membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, menyiapkan makanan, melipat cucian dan mengganti sprei2 yang terkena kotoran para Yesuit yang sakit atau lanjut usia.

Spinassi bercerita, Bergoglio juga pernah memberi bantuan yang lebih besar, memberinya 9.000 peso, sumbangan biarawati Jerman, untuk membeli rumahnya.

Tapi Bergoglio marah, ketika ia mengunjungi rumahnya dan menemukan kolam renang di halaman belakang. Spinassi mengatakan ada kesalahan: sebenarnya dia hanya meminta kolam di atas tanah. Tapi Bergoglio mengamuk.

"Dia sangat marah pada saya," kata Spinassi dengan rona malu. "Dia benar, sih."

Spinassi memperbolehkan saya melihat kolam renangnya, tapi dengan janji tidak mengambil fotonya. Dia tidak ingin Paus melihat itu dan marah lagi.

Ia percaya Paus tidak tinggal di Istana Apostolik, kediaman paus2 sebelumnya, karena Paus Yohanes Paulus II membuat kolam renang di situ.

(Sebenarnya tidak ada kolam renang di Istana Apostolik, tapi ada di kediaman musim panas Paus di Castel Gandolfo. Fransiskus menolak untuk tinggal di semua istana itu.)


Tulang-orang kudus Yesuit ditaruh di tempat terhormat di altar kapel.

Saya bertanya pada Spinassi apa yang dilakukan Bergoglio sebagai hiburan selama tinggal di rumah Jesuit itu. Dia menatapku, diam untuk beberapa saat.

Apakah dia menonton TV?

Tidak juga. Kecuali kalau ada pertandingan sepak bola, sesekali.

Minum koktail atau bermain kartu?

Tidak. Kalau ia mendapat wiski hadiah ulang tahun, dia memberikannya ke orang lain.

Apakah dia ngobrol dengan Yesuit2 lainnya?

Tidak. Dia terus sibuk dengan dirinya sendiri, kata Spinassi.

Bergoglio memang dikunjungi beberapa orang, rekan2 Yesuitnya yang mengkhawatirkan kesehatannya.

"Orang mendengar kabar bahwa keadaannya tidak baik," kata Liebscher, seorang Yesuit Amerika. "Pantas dikhawatirkan."

Bergoglio jadi kurus dan menghabiskan banyak waktunya sendirian.

"Dia mengerti bahwa ia harus tetap diam dan patuh karena dia dihukum," kata Rausch.

"Ada orang yang bilang dia gila," kata Velasco, salah satu Yesuit murid Bergoglio di Buenos Aires. "Itu tidak benar."

Velasco bercerita, ia mengunjungi Bergoglio pada tahun 1990, tidak lama setelah pengasingan dimulai. Mereka bicara tentang Serikat Yesus, dan Bergoglio berusaha untuk tidak melontarkan kritiknya, tetapi tidak bisa menahan diri.

Dia marah karena disisihkan seperti sepotong mebel tua dan menuduh para pemimpin Yesuit Argentina mencabut Serikat itu dari misi tradisionalnya.

Tapi dia tidak melihat ada jalan keluar dari pengasingannya.

"Jika kamu tidak setuju dengan atasan yang ditetapkan oleh Serikat," kata Velasco, "maka kamu punya masalah dengan seluruh Serikat."

Sudah biasa bagi para Yesuit, juga bagi pemimpin yang berbakat, untuk bergeser dari tempat yang tinggi ke tugas rendahan. Tetapi beberapa orang mengatakan bahwa pengiriman Bergoglio ke Cordoba jelas hukuman, dan ia menderita.

"Aku dapat melihatnya di wajahnya," ujar Pastor Juan Carlos Scannone, seorang Yesuit tua yang kenal Bergoglio sejak 1950-an. "Saya bisa melihat dia menjalani pemurnian spiritual, malam yang gelap."
-------------------



Cordoba kota kedua terbesar di Argentina, tapi bagi Bergoglio itu pengasingan dalam kesepian.

Mengapa Bergoglio merasa waktunya di Cordoba begitu berat?

Rekan2 Yesuitnya punya penjelasan yang berbeda2.

Beberapa orang mengatakan, ia merasa dipermalukan, dicampakkan dan tidak diberi tugas yang penting. Atau ia kehilangan tujuan hidupnya. Lainnya mengatakan ia melihat visinya bagi Serikat Yesus makin menjauh. Atau ia sangat merindukan hiruk pikuk Buenos Aires.

Salah seorang yang mengirim Bergoglio ke Cordoba, orang No 2 di Yesuit Argentina saat itu, dengan tegas membantah bahwa itu adalah hukuman.

"Alasan untuk memindahkan Yesuit dari satu rumah ke rumah lain, dan dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya," kata Pastor Ignacio Garcia-Mata, "merupakan kebiasaan Serikat sejak didirikan oleh St Ignatius."

Tak satu pun dari teman2 Bergoglio mengatakan kepada saya bahwa mereka pernah bicara dengannya tentang Cordoba. Seolah-olah itu terlalu mengungkit emosi atau memalukan.

Tapi saya menemukan dua wartawan yang berhasil membuat terobosan: wawancara dengan Paus sendiri.

Buku mereka, "Memahami Paus Fransiskus: Saat2 Penting Pembentukan Jorge Bergoglio sebagai Yesuit," baru saja diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Sebagai orang Katolik yang taat, wartawan Javier Camara memajang foto2 Paus Fransiskus di seluruh dinding rumahnya, salah satunya foto dia dan istrinya yang bertemu paus tahun lalu.

Camara mengundang saya dan rekan-penulisnya, Sebastian Pfaffen, ke rumahnya untuk jamuan makan tradisional Argentina. Sambil minum anggur merah dan steak (salad untuk vegetarian ini) kita bicara tentang masa2 Paus di Cordoba.
------------------------

Banyak aktivis Katolik di kota ini tidak tahu bahwa Bergoglio menghabiskan waktu di sini pada 1990-an, kata kedua wartawan ini kepada saya. Dia bukan berita besar pada saat itu dan dia tidak banyak bersosialisasi.

Sebaliknya, Paus mengatakan kepada mereka, itu adalah "masa pemurnian."

"Itu adalah masa yang gelap, ketika seseorang tidak banyak melihat. Saya banyak berdoa, saya membaca, saya menulis cukup banyak dan menjalani hidup saya," katanya. "Yang saya lakukan di Cordoba lebih berkaitan dengan kehidupan batin saya."

Paus tidak mengungkapkan banyak tentang kegelapan batinnya, tapi Camara dan Pfaffen mendapatkan dokumen yang dapat memberi wawasan ke dalam pikiran Bergoglio, bahkan mungkin jiwanya.

Bergoglio menulis beberapa esai pada saat berada di Cordoba. Salah satunya "Silencio y Palabra" - "Diam dan Kata2"

Katanya, itu ditulis untuk membantu komunitas agama mengatasi ketidaksepakatan yang serius di antara mereka. Sejak kalimat pertama, esai itu mendendangkan nada pribadi.

"Ketika kita menemukan diri kita dalam situasi yang sulit, kadang-kadang diam bukanlah suatu kebajikan," tulis Bergoglio. "Itu dipaksakan saja kepada kita tanpa pilihan."

Tetapi bahkan diam yang dipaksakan bisa menjadi rahmat, lanjutnya.

Mengambil pelajaran dari "Latihan Rohani," seperangkat doa dan perenungan yang ia pelajari puluhan tahun sebelumnya sebagai novisiat Yesuit, ia mengeksplorasi perbedaan antara mengasihani diri sendiri dan pengorbanan diri.

"Bisa terjadi bahwa seseorang merasa menjadi semacam korban spiritual," Bergoglio menulis, "mengingat bahwa 'mereka menyakiti saya tanpa alasan apapun.'"


Sementara saudara-saudaranya tidur siang, Bergoglio berdoa di depan patung St. Yusuf.
Satu-satunya cara untuk menghindari pemikiran tersebut, ia menyimpulkan, adalah dengan tetap rendah hati, tetap berdoa dan memberi Tuhan ruang untuk bekerja.

Tapi apa yang terjadi ketika Tuhan sepertinya tidak hadir di situ?

Itulah tema esai lain yang ditulis Bergoglio ketika ia berada di Cordoba, "El Exilio de Toda Carne," "The Exile of All Flesh." (Pengasingan Semua Daging). Esai ini dimulai sebagai catatan untuk retret spiritual yang dipimpin Bergoglio pada tahun 1990, beberapa bulan sebelum ia diasingkan, seperti suatu firasat.

"Orang2 yang secara sadar mengambil tanggung jawab atas pengasingannya menderita kesepian ganda," tulis Bergoglio.

Mereka merasa kesepian di tengah keramaian, bagai orang asing di negeri asing. Tapi mereka juga merasakan kesepian spiritual, "pahitnya kesendirian di hadapan Tuhan."

Rasa terasing ini dirasakan paling berat ketika berdoa, tulis Bergoglio, saat orang buangan itu menjadikan dirinya terpisah dari orang lain - di tengah ketenangan kapel yang gelap, mungkin, sebelum saudara2 Yesuitnya terbangun.

Orang yang dibuang juga merasa isolasi ini dalam doa itu sendiri, ketika ia merenungkan jarak antara keinginan dirinya dan rencana Tuhan.

Para nabi Israel merasakan rasa sakit ini, tulis Bergoglio, mengutip Yeremia, yang mengatakan kepada Tuhan ia terlalu muda untuk memikul tanggung jawab yang berat tersebut.

Namun, Yeremia menjalankan misinya, berusaha memimpin orang2 Yahudi melalui kekacauan politik. Pada akhirnya, ia dikenang hanya bagi "pertikaian" dan kontradiksi yang ditinggalkannya, tulis Bergoglio.

Misi Yeremia gagal, orang buangan ini sedih, menangis di tepi sungai Babilon. Beberapa sarjana mengatakan ia terjerumus ke dalam masa2 diam membisu. Tidak yakin bagaimana cara bisa pulang kembali ke rumah, nabi ini melalukan usaha terakhirnya: doa.

"Ini adalah doa dari seseorang yang memberikan segalanya, dan ingin - setidaknya - bahwa Tuhan akan berada di sisinya," Bergoglio menulis. "Tapi dalam kehidupan, kadang-kadang seolah-olah Tuhan menempatkan dirinya di sisi lain."

Pastor Angel Rossi: Cordoba mengubah Bergoglio menjadi lebih baik.

Hampir semua orang yang saya ajak bicara di Cordoba mendorong saya untuk mewawancarai Pastor Angel Rossi, seseorang yang oleh Paus Fransiskus disebut sebagai "anak spiritualnya."

Pada hari terakhirku di kota itu, saya berhasil mengajaknya duduk bersama di kapel Manzana Jesuitica.

Rossi terlihat sedikit mirip Bergoglio muda: sama kacamatanya dengan frame-nya yang tipis, sama rambutnya yang hitam berseling putih.

Dalam hal-hal rohani, mereka bisa disebut kembar. Rossi memimpin komunitas Jesuit di Manzana Jesuitica, serta mengurus badan amal, memberi kuliah, memimpin retret spiritual dan menulis.

Bergoglio menerima Rossi ke dalam Serikat Yesus pada tahun 1976, ketika Bergoglio masih jadi provinsial. Menurut perkiraan Rossi, mereka hidup di bawah atap yang sama selama tujuh atau delapan tahun.

Saya memintanya menjelaskan tentang Bergoglio.

Jika kamu mengenalnya dengan baik, itu hampir mustahil, jawab Rossi.

Dia rendah hati namun percaya diri, tukang pelanggar aturan tapi disiplin. Dia pendiam tapi dapat bebas berbicara mengenai pikirannya. Dia sangat spiritual, tapi banyak akal - persilangan antara orang suci di gurun dan politisi lihai. Dia adalah orang yang kuat dan mau bertindak, yang menghabiskan banyak waktu untuk doa dan perenungan.

Ini gambaran yang bagi banyak Yesuit lain mungkin cocok bagi diri mereka.

"Kontradiksi adalah bagian dari diri kita," kata Rossi.

Tapi kontradiksi itu sering membuat bingung umat Katolik di Argentina, yang menganggapnya sebagai seorang konservatif retrograde. Rossi menyebut keputusan untuk mengirim Bergoglio ke Cordoba secara "manusiawi tidak adil" dan mengatakan itu menyebabkan kekhawatiran di kalangan Jesuit muda.

Tapi Cordoba mengubah Bergoglio menjadi lebih baik, kata Rossi.

"Bisa saya katakan bahwa banyak hal yang dijalaninya dalam hidup sekarang ini berawal di sini di Cordoba."

Seperti benih yang ditanam di tanah keras musim dingin, kata Rossi. Selama berbulan-bulan, bumi terlihat tandus, tapi di musim semi, buahnya muncul.

"Mereka tersembunyi dari luar," lanjut Rossi, "tapi orang akan kagum melihat ke mana orang-orang besar ini pergi di saat-saat hening itu."

Saya bertanya: Apa yang berubah pada Bergoglio setelah ke Cordoba?

"Bukan Bergoglio yang berbeda," Rossi mengoreksi saya. "Ini adalah Bergoglio yang telah sepenuhnya berkembang, yang telah memperluas jangkauannya dan menemukan misinya."

Dua tahun setelah pengasingannya, pada bulan Juni 1992, Bergoglio diangkat menjadi uskup pembantu di Buenos Aires. Dia telah dekat dengan Uskup Agung Antonio Quarracino di kota itu, yang secara pribadi mengajukan petisi pada Paus Yohanes Paulus II atas nama anak didik nya.

Enam tahun kemudian, pada tahun 1998, Bergoglio sendiri diangkat menjadi Uskup Agung Buenos Aires, orang Katolik yang paling berkuasa di Argentina.

Itu peristiwa pembalikan yang dramatis dari kesepian dan penderitaan yang dialaminya di Cordoba, tapi Bergoglio mengatakan ia membawa pulang pelajaran penting.

"Kamu harus menjalani pengasinganmu," katanya kepada seorang politisi yang dipaksa mengundurkan diri. "Dan ketika kamu pulang kembali, kamu akan lebih bermurah hati, lebih ramah, dan ingin melayani orang-orang dengan lebih baik."

Sebagai Uskup Agung Buenos Aires, Bergoglio mengatakan, ia memastikan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Dia berkonsultasi dengan uskup pembantu dan para imamnya, meminta pendapat mereka sebelum membuat keputusan, pendekatan ini dibawanya ke kepausan.

Sebelum saya meninggalkan Jesuit Residencia, saya melihat sekali lagi ruang tempat Bergoglio tinggal, menyentuh meja dan membuka lemarinya, membayangkan lemari itu penuh jubah hitam calon paus ini.

Saya berjalan sebentar ke kapel di mana Bergoglio berdoa dalam gelap. Saya berlutut di bangku pertama - tempatnya - kayu berderit di bawah berat lututku. Dalam keheningan pagi, dengan patung-patung orang-orang kudus Yesuit menatap saya, sejenak saya merenungkan segala sesuatu yang saya pelajari di Cordoba. Lalu bangkit dan meninggalkan gereja.
---------------------

Iglesia de la La Compania di Manzana Jesuitica atau Blok Yesuit.
Saya terbang pulang dengan notebook terisi penuh; itu mimpi wartawan. Tapi saya masih punya banyak pertanyaan, dan sisa waktu yang sedikit untuk menemukan jawaban - mimpi buruk seorang editor.

Untuk mencari potongan terakhir dari teka-teki puzzle, saya pergi menemui Pastor Timotius Kesicki, ketua Konferensi Yesuit di Washington.

Kesicki adalah campuran kinetik antara energi dan ide-ide; seorang yang rendah hati meskipun kedudukannya tinggi, yang membuatnya menjadi kepala penghubung antara Yesuit Amerika Utara dan superior jenderal di Roma. Dijuluki "Paus hitam" karena memakai jubah hitam dan memimpin ordo klerus terbesar di gereja, superior jenderal tak tertandingi pengaruhnya pada Serikat Yesus.

Sementara kita bicara di kantor pusat kota Washington baru-baru ini, Kesicki melompat dari tempat duduknya mengambil sebuah buku yang menjelaskan butir penting tentang Yesuit. Sesaat sebelum kami bertemu, dia telah mengirimi salinan pedoman untuk provinsial Yesuit, untuk membantu saya memahami keputusan yang dibuat Bergoglio sebagai pemimpin Yesuit dan keputusan pemimpin Yesuit untuk dia.

Ketika saya membaca bagian tentang "menyatukan hati dan pikiran," mata saya terbelalak. Konstitusi Yesuit, yang menjadi dasar bagi pedoman itu, menyatakan:

"Siapa pun yang dipandang menjadi penyebab perpecahan di antara mereka yang hidup bersama, yang menjauhkan orang di antara mereka sendiri atau dari kepala mereka, harus dengan penuh ketegasan dipisahkan dari masyarakat itu, bagai wabah sampar yang dapat menginfeksi dengan serius jika obat tidak cepat diberikan."

Jadi, itu sebabnya Bergoglio dibuang, pikirku. Meski ia tidak melakukan kesalahan, ia jelas menyebabkan perpecahan dalam Yesuit Argentina.

Tidak mudah untuk memindahkan orang, kata Kesicki. Coba tanya saja pada CEO perusahaan sekuler bagian apa yang tersulit dari pekerjaan mereka: Mereka hampir selalu akan bilang masalah personalia. Manusia.

Pada saat yang sama, Yesuit dipanggil untuk berada di parit sosial, persimpangan ideologi2, tempat di mana Firman dan dunia berkumpul dan berkonflik. Perdebatan mengenai bagaimana mendefinisikan keberhasilan di tempat seperti itu tampaknya hampir tak terelakkan.

"Orang bisa berkata bahwa jika Anda tidak memiliki perbedaan2 pendapat seperti itu," kata Kesicki, "Anda bukan benar-benar Yesuit."

"Jadi ketegangan itu merupakan bagian dari DNA Yesuit '?" tanya saya.

"Ini adalah DNA dari Injil!" dia menjawab. "Lihatlah para rasul: Petrus mati terbalik di kayu salib; apa itu yang dia harapkan?"

Sebelumnya dalam wawancara kami, Kesicki menanyakan sesuatu yang mirip itu: "Apakah salib itu promosi?"

Pertanyaannya berdering di kepala saya selama beberapa hari. Aku berpikir tentang Bergoglio di Cordoba dan latihan rohani Jesuit yang mendesak dia untuk menyamakan dirinya dengan Kristus yang disalibkan.

Saya ingat pernah membaca sebuah wawancara dengan Bergoglio di mana ia mengungkapkan kekagumannya pada buku berjudul "A Theology of Failure," yang ditulis pada tahun 1978 oleh Pastor John Navone, Yesuit Italia-Amerika.

Navone menunjukkan bahwa, dalam istilah manusia, Yesus adalah sebuah kegagalan.

Dia dibenci oleh orang Romawi dan oleh banyak orang Yahudi sendiri. Bahkan keluarga dan pengikut Yesus tidak sepenuhnya memahami-Nya. Yang paling menyedihkan, Yesus mati mengira ia telah ditinggalkan oleh Tuhan dan telah gagal pada misi yang telah ditetapkan Tuhan.

Tapi itu bukan akhir dari cerita. Perangkat kematian dan keputusasaan - salib itu - menjadi simbol kebangkitan, kehidupan baru, dan dengan bangga ditaruh di atas gereja-gereja yang tak terhitung jumlahnya.

Pada tahun 2010, Bergoglio berkata pada dua wartawan bahwa buku Navone membawanya untuk merenungkan tema kesabaran.

"Ada kalanya hidup kita tidak diminta untuk melakukan banyak hal tapi untuk 'bertahan', menahan," katanya, "untuk menahan keterbatasan kita sendiri serta orang lain."

Saya menelepon Navone untuk bertanya tentang pengaruhnya pada pikiran Paus: bagaimana Bergoglio yang menderita itu menjadi Fransiskus yang penyabar.

Saya tanya berapa banyak dia tahu tentang pengasingan Bergoglio ini.

Navone tahu semua tentang Cordoba.

"Ada titik persimpangan yang terberkati antara teologi dan krisis," kata dia. "Semacam cahaya dalam gelap baginya."
--------------

Di kemudian hari, Navone dan saya bicara pada hari Paus Fransiskus membuat umat Katolik lebih mudah membatalkan pernikahan mereka, dan sekitar seminggu setelah ia mendorong para imam untuk mengampuni wanita yang telah melakukan aborsi.

Navone dan saya berbicara tentang belas kasihan, dan bagaimana sulitnya memaafkan orang lain jika Anda tidak akrab dengan kegagalan Anda sendiri. Kami bicara tentang Paus yang bepergian ke daerah pinggiran karena ia sendiri dikirim ke sana. Dan kami bicara tentang 'kebebasan batinnya" Paus Fransiskus yang jelas terlihat, penolakannya untuk mengikuti harapan orang lain.

Menurut pengakuannya sendiri, Bergoglio bukan orang yang sempurna ketika ia meninggalkan Cordoba. Dia tidak sepenuhnya berdamai dengan Yesuit sampai setelah ia terpilih menjadi Paus pada tahun 2013.

Tapi caranya berdoa, berpikir dan bertindak, semua dibentuk oleh Serikat Yesus - dan, seperti semua Yesuit, ia percaya bahwa menjadi baik butuh lebih dari menghindari konflik dan menempatkan beberapa lembar uang dalam kantong koleksi.

Iman adalah disiplin harian, membutuhkan latihan spiritual bagi jiwa, bahkan ketika - atau terutama ketika - jiwa Anda menderita, 800 km dari rumah, sendirian di kamar merah yang kecil itu.

Saya tidak tahu persis apa yang terjadi pada Bergoglio pada malam2nya yang gelap di Cordoba. Saya mungkin tidak akan pernah tahu.

Tapi ketika saya melihat Paus sekarang di Lapangan Santo Petrus, mengkhotbahkan belas kasihan bagi segala macam orang berdosa, saya tidak bisa tidak ingat lagi pada orang buangan itu, yang berlutut dalam kegelapan kapel, sendirian, dengan kejutan2 dari Tuhan.

===========================

Sumber:  http://edition.cnn.com/interactive/2015/09/specials/pope-dark-night-of-the-soul/

===========================



Tuesday, April 5, 2016

Pembuangan dan Pengasingan Jorge Bergoglio (Paus Fransiskus sekarang) -- Bagian 2

Disadur dr laporan wartawan CNN (lihat link di bawah)
--------------------------------------
Pada bagian pertama diceritakan bagaimana Bergoglio (sekarang paus) menjadi kepala Yesuit Argentina pada usia 36 tahun. Dia menghindari berkecimpung dalam politik langsung untuk menentang atau membela junta militer brutal saat itu. Tapi dua pastor di bawahnya melawan, tetap memusuhi militer secara terbuka, dan ditangkap.

Baca dahulu: Pembuangan dan pengasingan Bergoglio (1)
-----------------------------

Cara ajaib Bergoglio mendidik murid seminari: perah susu sapi, piara babi.


Waktu saya mendengar tentang "peternakan Yesuit" di dekat Cordoba, saya membayangkan seorang imam yang mengenakan topi koboi, dengan setangkai jerami antara giginya. Sayangnya, peternakan yang pernah mendanai misi Yesuit ini sekarang jadi museum, tanpa sapi.

Bergoglio waktu itu berusaha membangkitkan kembali peternakan itu, dengan memasukkan mata pelajaran akademik yang aneh, pertanian dan peternakan, ketika ia menjadi rektor di seminari Yesuit di Buenos Aires.

Pastor Alfonso Gomez dr Universitas Katolik Cordoba mengingat hari-hari itu dengan senyum2, seolah-olah dia masih tidak bisa percaya ingatannya sendiri. Ada cerita tentang babi yang hampir lolos keluar.

"Menyenangkan," kata Gomez dengan senyum lebar. "Sulit juga, tapi banyak dari kita yang suka. Sistemnya terorganisasi dengan sangat baik."

Itu penugasan yang ideal bagi Bergoglio ini: membentuk Yesuit muda.

Setelah melayani di jabatan2 tinggi seperti provinsi, banyak pastor Yesuit "diturunkan" pangkatnya untuk mencegah apa yang disebut karierisme (mengejar karier dan ambisi), dosa yang disebut Ignatius "ibu dari segala kejahatan."

-----------------

Swinnen menggantikan Bergoglio sebagai provinsial dan temannya dijadikan rektor Colegio Maximo, suatu keputusan yang akan memecah provinsi ini selama beberapa puluh tahun.

Gaya Bergoglio dalam membentuk Yesuit, seperti sistem ketat yang dikuasainya di Cordoba, itu dikelola dengan mendetail. Dia keras mengenai ketepatan waktu. Yang terlambat akan disuruh membersihkan dapur.

"Jika melanggar salah satu aturan, selalu ada semacam sanksi sosial atau sanksi moral," kata pastor Rafael Velasco, yang dulu belajar di Colegio Maximo.

"Sangat sedikit waktu untuk kebebasan. Lebih seperti biara daripada rumah Yesuit."

Bergoglio menganjurkan murid-muridnya untuk tidak membaca teologi pembebasan dan memindahkan profesor2 yang menganjurkan itu, menyingkiri para Yesuit yang main politik.

Ia lebih suka cara yang lebih langsung membantu orang miskin, membangun peternakan di sekitar seminari, menyuruh Yesuit2 muda memerah susu sapi dan memanen tanaman, dan makanan yang dihasilkan itu disumbangkan pada perkampungan2 kumuh di sekitarnya.

Para murid seminari akan langsung pindah dari ruang kelas ke kandang babi, pengingat yang menyengat dari moto Yesuit untuk "menemukan Tuhan dalam segala hal."

Tapi Yesuit yang lebih intelektual lebih suka ruang kelas daripada sapi. Mereka ingin lebih banyak kebebasan intelektual dan tugas-tugas lebih sedikit. Perpecahan dalam provinsi pun mulai muncul.

Bahkan Yesuit di luar Argentina - terutama mereka yang mendukung teologi pembebasan - bingung dengan metode Bergoglio ini.

Tapi Bergoglio berpribadi kuat. Setelah ia membuat keputusan, dia jarang bisa dibujuk untuk mempertimbangkan kembali.

Yang lebih menyusahkan bagi provinsi adalah pengikutnya yang menghormati setiap kata Bergoglio sebagai tulisan suci. Dan, setelah memegang jabatan tinggi Yesuit selama 15 tahun, ia punya cukup banyak pengikut, mungkin 40% dari provinsi.

Pastor Arthur Liebscher, seorang Yesuit Amerika yang belajar di Argentina selama tahun 1980an, ingat bahwa para "pengawal" Bergoglio itu terlalu yakin akan diri sendiri dan sembrono.

"Nabinya baik-baik saja," katanya sambil tertawa, "tetapi murid-muridnya benar-benar menyulitkan."

Para pengikut Bergoglio ini yakin bahwa pemimpin mereka telah mengukir satu jalan yang benar. Yesuit yang lain tidak begitu yakin.


Bergoglio kadang2 mengurbankan misa di Iglesia de la Compania, gereja dalam kompleks Yesuit.


--------------------------

Pada 1986, masa tugas Bergoglio enam tahun menjadi rektor seminari telah berakhir. Para ahli teologi pembebasan, yang dulu dicopotnya dari posisi kekuasaan, sekarang mengatur provinsi, berdasar petunjuk pemimpin Yesuit di Roma.

Salah satu tugas pertama mereka adalah memutuskan apa yang harus dilakukan pada Bergoglio.

Mereka mengirimnya ke Jerman untuk menyelesaikan tesis doktornya, mungkin dengan harapan bahwa dengan kepergiannya, permusuhan di provinsi tersebut akan berkurang. Suasana baru mungkin juga akan melepaskan pikiran Bergoglio dari ide pembentukan insan Yesuit.

Tapi Bergoglio yang sudah berusia 50 tahun, dengan puluhan tahun pengalaman pastoral, sekarang terjebak di tumpukan debu perpustakaan Jerman. Pada malam hari, ia memilih berjalan-jalan di dekat bandara, melambaikan tangan pada pesawat2 yang menuju Buenos Aires. Dia gelisah; rindu pulang kampung halamannya.

Hanya tiga bulan di Jerman, Bergoglio memutuskan untuk pulang, tindakan pemberontakan kecil terhadap atasannya. Mereka membiarkan dia kembali dan mengajar di seminari di Buenos Aires. Waktu pulang, dia tampak seperti orang yang berbeda, kata beberapa pastor Yesuit; rambutnya kusut; kukunya panjang tak terawat.

Tapi kehadiran Bergoglio segera menghidupkan kembali perdebatan lama mengenai bagaimana menjadi seorang Yesuit yang seharusnya.

Bergoglio mencoba untuk menghindar, memimpin dengan contoh, bukan dengan berdebat. Tapi tetap terjadi perdebatan, meniru contoh politik Amerika Latin dengan kampanye yang berputar di sekitar si orang kuat. Para pengikut setianya bentrok dengan atasan Yesuit yang baru, dan Bergoglio tidak banyak berusaha untuk menghentikannya.

"Kesan saya, ia menyadari tujuan besar yang dimilikinya," kata Liebscher, "tapi dia tidak menyadari bahwa, dalam proses ini, ia menginjak kaki banyak orang terhormat."

Akhirnya, bos2 Bergoglio memutuskan mereka sudah cukup bersabar. Mereka mengirimnya ke Cordoba, 800 km jauhnya.

Bruder Louis Rausch ingat dia menelepon Bergoglio segera setelah ia mendengar kabar itu, tahun 1990.

"Kamu sudah mengepak koper?" tanyanya.

Ketika saya bertanya pd Rausch seberapa jauh dia mengenal calon paus ini, dia menarik surat dari sakunya. Di dalamnya, Bergoglio menggodanya tentang keluarganya yang jadi mirip orang desa. Bruder Rausch lah yang mengajar pertanian di seminari Yesuit.

Sekarang Rausch mengurus Iglesia de la Compania, gereja Yesuit. Dia ingat, Bergoglio tidak menjawab pertanyaannya tentang persiapan ke Cordoba. Tapi Rausch mengerti apa arti diamnya itu.

"Dia tahu bahwa masa2 di depannya akan sangat sulit."

Sebelum mereka menutup pembicaraan, Bergoglio bertanya: Apakah kamu sudah berdoa untuk saya?
========================

LanjutanPembuangan dan pengasingan Paus (3)

======================== 

Pembuangan dan Pengasingan Jorge Bergoglio (Paus Fransiskus sekarang) -- Bagian 1

Disadur dr laporan wartawan CNN (lihat link di bawah)
--------------------------------------

Kamar itu kecil dan merah. Tirainya merah tua, lantai merah, selimut merah terbentang di tempat tidur. Sebuah lukisan penyaliban adalah satu-satunya hiasan di kamar itu.

Sepertinya mirip sel tahanan, atau bilik biarawan. Inilah Kamar No. 5 dari rumah Yesuit di Cordoba, Argentina.

Di balik ruang soliter ini, di sisi lain dr dinding batu tebal itu, mahasiswa2 datang berduyun-duyun dan pergi menyebar bagai kawanan burung. Pemusik melatih jemari mereka melambungkan musik Amerika. Pedagang kali-lima menjajakan barang buatannya.

Tapi di kamar No. 5 itu, yang dapat Anda dengar adalah gema bertubi2 dari pikiran Anda sendiri, doa orang kesepian kepada Tuhan yang berada di tempat yang jauh sekali.

Jorge Mario Bergoglio, orang yang kemudian menjadi Paus Fransiskus, menghabiskan dua tahun di ruang kurungan ini selama tahun 1990-an.

Itu adalah malam2 yang gelap bagi seseorang yang sekarang dikenal sbg sosok yang begitu besar, dengan pengikut yang begitu banyak. Dia waktu itu berusia 50 tahun, ditinggalkan oleh banyak rekan Yesuitnya, dibiarkan menderita dalam keheningan yang dalam... Di kemudian hari dia berkata, itu "saat krisis jiwa yang berat."

Ini adalah kisah tentang mengapa Jorge Mario Bergoglio diasingkan ke ruangan ini -- dan bagaimana pelajaran yang menyakitkan ia pelajari di sini dan mengubah Gereja Katolik.
========================

Cordoba, tempat pembuangan itu, bukan kota kecil. Bunyi klakson mobil bersahut2an di jam sibuk. toko modis dan restoran mewah memadati jalan-jalan yang sempit... Inikah tempat Paus diasingkan? Tapi kota itu 800 km dari Buenos Aires, tempat Bergoglio berkarya selama puluhan tahun. Dan di sini Bergoglio tidak diberi tugas yang jelas. Misa, pengakuan dosa, paling2 itu. Amat jauh berbeda dengan tugasnya sebelum itu di Buenos Aires, ketika dia jadi kepala atau provinsial Yesuit dan rektor seminari..

Secara kebetulan, hari pertama saya di Cordoba adalah tanggal 31 Juli, hari pesta St. Ignatius, pendiri Yesuit. Ini hari yang baik untuk secara resmi memulai misi saya di sini.

Hampir setiap segi kehidupan Paus Fransiskus telah ditulis oleh pers dan penulis2 biografi yang hebat2. Tapi waktunya di Cordoba -- bagian dramatis untuk satu orang yang paling terkenal di dunia -- masih diselimuti misteri. Dalam banyak biografi kehidupan Paus, tahun 1990-1992 itu kosong, tanpa cerita, tanpa penjelasan.

Saya membaca hampir semua biografinya, membaca puluhan artikel dan menyisir setiap wawancara yang bisa saya temukan, mencari referensi mengenai apa yang dilakukannya di Cordoba. Saya bahkan menulis surat kepada Bapa Suci.

Karena tidak ada balasan, saya coba taktik lain; Datang ke kota pengasingannya. Di sini, di Cordoba, saya merencanakan untuk berjalan di tempat ia berjalan, berlutut di tempat ia berdoa, bertemu dengan orang-orang yang ditemuinya dan membaca kata-kata yang ditulisnya.

Dan saya menemukan diriku di jantung budaya Cordoba, Manzana Jesuitica -- Blok Yesuit -- kompleks abad ke-17 yang mencakup sebuah gereja batu tinggi, kapel kecil dan kediaman tertutup tempat tinggal 10 pastor Yesuit.

Saya pikir saya beruntung dapat menghadiri misa pada hari pesta St Ignatius. Mahasiswa2 dari perguruan tinggi terdekat berhimpitan dalam setiap bangku di gereja Yesuit itu. Saya terjebak di barisan belakang, dan tidak dengar sebagian besar homili uskup di situ; saya hanya menangkap kata-kata "Papa Francisco" beberapa kali.

Sekitar 57 tahun lalu, calon paus ini datang ke Cordoba sebagai novisiat Yesuit, dengan rambut dan jubah hitam. Dia umur 21, kurang lebih seusia dengan siswa yang duduk di sampingku di misa itu.
Bergoglio dengan ibu dan ayahnya. 1958

Panggilan Bergoglio untuk menjadi imam itu penuh misteri tapi kuat, menghentikan langkah remaja ini. Saat itu musim semi di Buenos Aires, ia melewati gereja dan seperti ikan terpancing kail ia masuk ke gereja. Remaja 16 tahun itu memasuki bilik gelap di mana imam memberikan Sakramen Tobat. "Sesuatu yang aneh terjadi padaku pada pengakuan itu," begitu katanya. "Saya tidak tahu apa itu, tapi itu mengubah hidup saya."

(Red. Seorang teman Bergoglio bahkan berkata, saat itu Bergoglio sedang akan menemui teman wanitanya, tapi mampir ke gereja, dan batallah semua rencana semula.)
-------------

Sehari setelah misa, saya pergi mencari pastor2 Yesuit yang ingat saat Bergoglio tinggal di kota ini. Salah seorang di antaranya adalah pastor Andres Swinnen, yang tinggal tepat di seberang jalan, di sebuah paroki Katolik.

Swinnen memasuki Yesuit satu tahun sebelum temannya Bergoglio, dan sekarang sudah 70 tahunan dalam Serikat Yesus. Dia tinggi dan tampan, dengan rambut perak disapu ke belakang dan aura aristokrat.
Andres Swinnen. kedua dari kiri. Bergoglio, di sebelahnya.

Seperti Bergoglio, Swinnen mengatakan ia bergabung dengan Yesuit karena ia mengagumi tata komunitasnya yang ketat, dengan fokus ke misi dan kehidupan yang disiplin. Waktu para novisiat itu diatur dari menit ke menit. "Jadwal dibuat. Kebiasaan ditetapkan. Anda harus lapor pada waktu tertentu."

Cara hidup yang ketat itu lebih dari hanya jadwal terstruktur itu. Mereka menggunakan sabun sebagai pasta gigi dan koran sebagai kertas toilet, kata Swinnen. Mereka saling memanggil menggunakan nama keluarga, bukan nama panggilan, untuk mencegah keakraban yang berlebihan.

"Seperti militer, ya" kata saya.
Swinnen mengangkat bahunya.

Dibutuhkan lebih dari 10 tahun untuk seorang Yesuit menyelesaikan pelatihan mereka, yang meliputi studi teologi dan filsafat, pelayanan langsung, dan retret spiritual yang intens. Tujuannya adalah untuk melatih sekelompok orang ini untuk bisa pergi ke mana pun dan memenuhi misi apapun, semua untuk "lebih memuliakan Allah."

Bergoglio berharap untuk ditugaskan ke Timur Jauh, seperti pahlawan2 Yesuit idamannya. Tapi permintaannya ditolak karena penyakit paru yang hampir merenggut nyawanya. Sebaliknya, ladang misi Bergoglio lebih dekat dengan rumahnya.
Koridor di luar kamar No.5
--------------

El Museo de la Memoria terletak tidak jauh dari Manzana Jesuitica di Cordoba ini. Ini bekas kantor polisi tempat puluhan orang Argentina - yang diduga gerilyawan atau melawan aturan brutal militer - disiksa dan dibunuh.

Sekitar 30.000 orang Argentina dibunuh atau "menghilang" di antara 1976-1983, periode yang dikenal sebagai Perang Kotor.

Dinding museum peringatan itu dihiasi foto-foto korban, beberapa diambil pada saat-saat terakhir mereka, saat mereka diseret ke kantor polisi, dan beberapa foto menunjukkan hari2 bahagia mereka sebelum ditangkap.

Berjalan melalui museum ini, melihat peninggalan2 dari kehidupan yang terputus itu, Anda akan menyadari mengapa Perang Kotor itu tetap menjadi luka terbuka pada jiwa Argentina. Tepat sebelum pintu keluar, tidak ada buku kenang2an untuk ditandatangani, tapi permohonan untuk informasi tentang orang2 yang dihilangkan. Saat saya berjalan keluar, seorang wanita duduk di tangga, menangis.
----------

Bergoglio diangkat menjadi kepala atau provinsial Yesuit Argentina ketika dia baru berusia 36 tahun. (Serikat Yesus dibagi dalam wilayah geografis yang disebut provinsi, yang dipimpin oleh provinsial yang melayani selama enam tahun.)

Saat itu tahun 1973, tiga tahun sebelum kudeta militer dan awal Perang Kotor. Bergoglio selesai masa pelatihannya hanya dua tahun sebelum itu.

Kedewasaannya memberi kesan pada para pemimpin Yesuit, namun kenaikan pangkatnya yang pesat juga disebabkan oleh serangkaian kejadian malang.
Seorang Yesuit yang lebih mungkin menjadi provinsial meninggal dalam kecelakaan mobil, pada saat jajaran Yesuit sudah menipis oleh perubahan2 besar dalam Gereja Katolik.

Konsili Vatikan II, yang diselenggarakan di Roma pada tahun 1962, diharapkan membuka jendela gereja dan membiarkan udara segar masuk. Ordo2 gereja didorong untuk memeriksa kembali "karisma" mereka atau misi2 khususnya.
Beberapa pastor Yesuit mengambil kesempatan ini sebagai izin untuk bereksperimen dengan sumpah mereka tentang kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Pada saat Bergoglio diangkat sebagai provinsial, banyak pastor Yesuit telah menyelinap melalui jendela yang terbuka oleh Vatikan II itu. Provinsi Yesuit itu berantakan.

Bergoglio bergerak dengan cepat untuk menciptakan ketertiban. Terlalu cepat, sehingga beberapa rekan Yesuitnya menggerutu.
Bergoglio sebagai kepala Yesuit Argentina pada usia 36 tahun.

Tapi tekanan gereja tidak seberapa dibandingkan dengan suasana politik.
Tempat tinggal para Yesuit itu berulang kali diserbu oleh junta militer yang berkuasa. Swinnen bercerita, tentara2 datang dengan todongan senjata. Pesannya jelas: Serikat Yesus sedang diawasi.

Sebagian, ini karena para Yesuit di seluruh Amerika Latin mengganti buku doa harian mereka dengan selebaran2. Teologi Pembebasan -- gagasan bahwa Injil mengungkapkan "pilihan untuk orang miskin" -- sedang mengakar. Tidak puas dengan hanya melayani di daerah kumuh, para Yesuit bertanya mengapa begitu banyak orang Amerika Latin sangat miskin. Para penentangnya memanggil mereka "kaum komunis berjubah."

Rekan2 Bergoglio berkata bahwa dia berusaha merendahkan diri, tanpa secara terbuka memuji atau mengutuk militer. Tugasnya adalah melindungi para imam yang berada di bawah pimpinannya.

Tapi dua pastor Yesuit membuat masalah sangat sulit.

Di bawah pengaruh teologi pembebasan, Franz Jalics dan Orlando Yorio mengorganisasi "komunitas basis" di perkampungan Buenos Aires; mereka mendesak orang miskin untuk menghadapi para penindas mereka.
Bergoglio mengizinkan mereka mengajar iman Katolik tetapi memperingatkan mereka untuk waspada terhadap militer. Mereka akan lebih aman hidup dengan para imam Yesuit lainnya, katanya.

Tapi Jalics dan Yorio menolak.

Akhirnya, Bergoglio memberi Yorio dan Jalics ultimatum: Pilih perkampungan atau Serikat Yesus. Mereka memilih perkampungan kumuh.

Beberapa hari kemudian, orang-orang bersenjata menangkap kedua Yesuit itu.
Bergoglio mengatakan ia sudah menempuh semua cara untuk menyelamatkan mereka. Setelah lima bulan, junta mengalah dan melepaskan kedua Yesuit itu.
Selama bertahun-tahun, Yorio menyalahkan Bergoglio untuk penculikannya, menuduh provinsial meninggalkan dia, tidak melindunginya dan menyerahkannya pada militer.

Jalics lebih diam, hanya mengatakan bahwa ia telah berdamai dengan mantan provinsial-nya. (Setelah pengangkatan Bergoglio menjadi paus, Jalics mengatakan bahwa ia tidak menyalahkan Bergoglio atas penangkapannya.)

Karena intensitas dan rasa sakit yang begitu lama akibat Perang Kotor, saya duga penculikan Yesuit inilah yang menjadi sumber ketegangan utama selama Bergoglio menjadi provinsial. Apa ini yang menyebabkan dia diasingkan ke Cordoba?

Tetapi para pastor Yesuit yang tidak suka pada Bergoglio pun tidak menyalahkan dia atas apa yang terjadi pada Yorio dan Jalics. Mereka memiliki masalah lain dengan dia. Ada masalah lain yang lebih sulit....
------------------
CATATAN: Jorge Maria Bergoglio; ucapkan "jorge" sebagai "horge"

Baca lanjutannya di Pembuangan dan Pengasingan Bergoglio (2)

=====================================