Disadur dr laporan wartawan CNN (lihat link di bawah)
Baca tulisan sebelumnya: Pembuangan dan pengasingan Bergoglio (2)
--------------------------------------
Waktu datang ke Kamar No 5 di Cordoba ini, Bergoglio tidak diberi tugas khusus. Setidaknya, tak ada yang memerlukan banyak pikiran atau waktunya.
Tugas resminya adalah mendengar pengakuan dosa, duduk di kamar sambil menunggu terdengar bunyi bel, tanda bahwa ada beberapa jiwa yang merasa bersalah dan ingin melepaskan diri dari beban dosa.
Beberapa orang yang akan mengaku dosa menghindari imam dengan wajah serius ini. Ada yang bisik-bisik bahwa dia tidak sehat.
Kadang-kadang, Bergoglio mempersembahkan misa, menggantikan imam kepala gereja. Dia mencoba menyelesaikan tesis doktornya, tapi, seperti halnya dengan banyak proyek lama yang ditunda-tunda, api ilham telah redup. Dia sisihkan, tidak selesai.
Sebaliknya, ia banyak membaca dan berdoa, berpikir dan menulis, mengingat2 kejadian masa-masa kecilnya, tentang masalah-masalah yang mengganggu umat beragama. Dia melahap buku sejarah para paus yang lima jilid tebalnya.
Jika butuh perubahan suasana, Bergoglio berjalan ke Iglesia de Cristo Obrero; akan tampak sosok sendirian, berjubah hitam, yang mengikuti aliran Sungai Primero yang lembut mengalir di antara dinding batu yang tinggi.
Saya ingin tahu lebih banyak tentang apa yang dilakukan Bergoglio di Cordoba, bagaimana dia mengisi hari2nya yang panjang, maka saya kunjungi Ricardo Spinassi, yang mengurus rumah tangga di sana selama 33 tahun.
Ricardi Spinassi, pengurus rumah tangga |
Spinassi bercerita, teman lamanya itu makhluk dengan kebiasaan rutin.
Dia mulai setiap hari dengan tugas yang sama, mencuci salah satu dari dua pasang nya kaus kakinya, dan makan makanan yang sama - sayuran dan ayam - untuk makan siang, setiap hari.
Di pagi hari, dia berdoa di kapel, sendirian dengan tulang-tulang orang-orang kudus Yesuit yang ditaruh di situ.
"Dia ada di sana sebelum wanita2 tua yang biasa datang ada di situ," kata salah satu Jesuit dengan tersenyum.
Pada sore hari, sementara saudara-saudara lainnya mulai tidur siang setelah makan siang, Bergoglio menundukkan kepala berdoa di depan patung St. Joseph, tokoh favoritnya sejak kecil.
"Dia berdoa seperti orang suci," kata Spinassi.
Kapel tempat Bergoglio berdoa setiap pagi. |
Spinassi bercerita, Bergoglio juga pernah memberi bantuan yang lebih besar, memberinya 9.000 peso, sumbangan biarawati Jerman, untuk membeli rumahnya.
Tapi Bergoglio marah, ketika ia mengunjungi rumahnya dan menemukan kolam renang di halaman belakang. Spinassi mengatakan ada kesalahan: sebenarnya dia hanya meminta kolam di atas tanah. Tapi Bergoglio mengamuk.
"Dia sangat marah pada saya," kata Spinassi dengan rona malu. "Dia benar, sih."
Spinassi memperbolehkan saya melihat kolam renangnya, tapi dengan janji tidak mengambil fotonya. Dia tidak ingin Paus melihat itu dan marah lagi.
Ia percaya Paus tidak tinggal di Istana Apostolik, kediaman paus2 sebelumnya, karena Paus Yohanes Paulus II membuat kolam renang di situ.
(Sebenarnya tidak ada kolam renang di Istana Apostolik, tapi ada di kediaman musim panas Paus di Castel Gandolfo. Fransiskus menolak untuk tinggal di semua istana itu.)
Tulang-orang kudus Yesuit ditaruh di tempat terhormat di altar kapel. |
Saya bertanya pada Spinassi apa yang dilakukan Bergoglio sebagai hiburan selama tinggal di rumah Jesuit itu. Dia menatapku, diam untuk beberapa saat.
Apakah dia menonton TV?
Tidak juga. Kecuali kalau ada pertandingan sepak bola, sesekali.
Minum koktail atau bermain kartu?
Tidak. Kalau ia mendapat wiski hadiah ulang tahun, dia memberikannya ke orang lain.
Apakah dia ngobrol dengan Yesuit2 lainnya?
Tidak. Dia terus sibuk dengan dirinya sendiri, kata Spinassi.
Bergoglio memang dikunjungi beberapa orang, rekan2 Yesuitnya yang mengkhawatirkan kesehatannya.
"Orang mendengar kabar bahwa keadaannya tidak baik," kata Liebscher, seorang Yesuit Amerika. "Pantas dikhawatirkan."
Bergoglio jadi kurus dan menghabiskan banyak waktunya sendirian.
"Dia mengerti bahwa ia harus tetap diam dan patuh karena dia dihukum," kata Rausch.
"Ada orang yang bilang dia gila," kata Velasco, salah satu Yesuit murid Bergoglio di Buenos Aires. "Itu tidak benar."
Velasco bercerita, ia mengunjungi Bergoglio pada tahun 1990, tidak lama setelah pengasingan dimulai. Mereka bicara tentang Serikat Yesus, dan Bergoglio berusaha untuk tidak melontarkan kritiknya, tetapi tidak bisa menahan diri.
Dia marah karena disisihkan seperti sepotong mebel tua dan menuduh para pemimpin Yesuit Argentina mencabut Serikat itu dari misi tradisionalnya.
Tapi dia tidak melihat ada jalan keluar dari pengasingannya.
"Jika kamu tidak setuju dengan atasan yang ditetapkan oleh Serikat," kata Velasco, "maka kamu punya masalah dengan seluruh Serikat."
Sudah biasa bagi para Yesuit, juga bagi pemimpin yang berbakat, untuk bergeser dari tempat yang tinggi ke tugas rendahan. Tetapi beberapa orang mengatakan bahwa pengiriman Bergoglio ke Cordoba jelas hukuman, dan ia menderita.
"Aku dapat melihatnya di wajahnya," ujar Pastor Juan Carlos Scannone, seorang Yesuit tua yang kenal Bergoglio sejak 1950-an. "Saya bisa melihat dia menjalani pemurnian spiritual, malam yang gelap."
-------------------
Cordoba kota kedua terbesar di Argentina, tapi bagi Bergoglio itu pengasingan dalam kesepian. |
Rekan2 Yesuitnya punya penjelasan yang berbeda2.
Beberapa orang mengatakan, ia merasa dipermalukan, dicampakkan dan tidak diberi tugas yang penting. Atau ia kehilangan tujuan hidupnya. Lainnya mengatakan ia melihat visinya bagi Serikat Yesus makin menjauh. Atau ia sangat merindukan hiruk pikuk Buenos Aires.
Salah seorang yang mengirim Bergoglio ke Cordoba, orang No 2 di Yesuit Argentina saat itu, dengan tegas membantah bahwa itu adalah hukuman.
"Alasan untuk memindahkan Yesuit dari satu rumah ke rumah lain, dan dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya," kata Pastor Ignacio Garcia-Mata, "merupakan kebiasaan Serikat sejak didirikan oleh St Ignatius."
Tak satu pun dari teman2 Bergoglio mengatakan kepada saya bahwa mereka pernah bicara dengannya tentang Cordoba. Seolah-olah itu terlalu mengungkit emosi atau memalukan.
Tapi saya menemukan dua wartawan yang berhasil membuat terobosan: wawancara dengan Paus sendiri.
Buku mereka, "Memahami Paus Fransiskus: Saat2 Penting Pembentukan Jorge Bergoglio sebagai Yesuit," baru saja diterbitkan dalam bahasa Inggris.
Sebagai orang Katolik yang taat, wartawan Javier Camara memajang foto2 Paus Fransiskus di seluruh dinding rumahnya, salah satunya foto dia dan istrinya yang bertemu paus tahun lalu.
Camara mengundang saya dan rekan-penulisnya, Sebastian Pfaffen, ke rumahnya untuk jamuan makan tradisional Argentina. Sambil minum anggur merah dan steak (salad untuk vegetarian ini) kita bicara tentang masa2 Paus di Cordoba.
------------------------
Banyak aktivis Katolik di kota ini tidak tahu bahwa Bergoglio menghabiskan waktu di sini pada 1990-an, kata kedua wartawan ini kepada saya. Dia bukan berita besar pada saat itu dan dia tidak banyak bersosialisasi.
Sebaliknya, Paus mengatakan kepada mereka, itu adalah "masa pemurnian."
"Itu adalah masa yang gelap, ketika seseorang tidak banyak melihat. Saya banyak berdoa, saya membaca, saya menulis cukup banyak dan menjalani hidup saya," katanya. "Yang saya lakukan di Cordoba lebih berkaitan dengan kehidupan batin saya."
Paus tidak mengungkapkan banyak tentang kegelapan batinnya, tapi Camara dan Pfaffen mendapatkan dokumen yang dapat memberi wawasan ke dalam pikiran Bergoglio, bahkan mungkin jiwanya.
Bergoglio menulis beberapa esai pada saat berada di Cordoba. Salah satunya "Silencio y Palabra" - "Diam dan Kata2"
Katanya, itu ditulis untuk membantu komunitas agama mengatasi ketidaksepakatan yang serius di antara mereka. Sejak kalimat pertama, esai itu mendendangkan nada pribadi.
"Ketika kita menemukan diri kita dalam situasi yang sulit, kadang-kadang diam bukanlah suatu kebajikan," tulis Bergoglio. "Itu dipaksakan saja kepada kita tanpa pilihan."
Tetapi bahkan diam yang dipaksakan bisa menjadi rahmat, lanjutnya.
Mengambil pelajaran dari "Latihan Rohani," seperangkat doa dan perenungan yang ia pelajari puluhan tahun sebelumnya sebagai novisiat Yesuit, ia mengeksplorasi perbedaan antara mengasihani diri sendiri dan pengorbanan diri.
"Bisa terjadi bahwa seseorang merasa menjadi semacam korban spiritual," Bergoglio menulis, "mengingat bahwa 'mereka menyakiti saya tanpa alasan apapun.'"
Sementara saudara-saudaranya tidur siang, Bergoglio berdoa di depan patung St. Yusuf. |
Tapi apa yang terjadi ketika Tuhan sepertinya tidak hadir di situ?
Itulah tema esai lain yang ditulis Bergoglio ketika ia berada di Cordoba, "El Exilio de Toda Carne," "The Exile of All Flesh." (Pengasingan Semua Daging). Esai ini dimulai sebagai catatan untuk retret spiritual yang dipimpin Bergoglio pada tahun 1990, beberapa bulan sebelum ia diasingkan, seperti suatu firasat.
"Orang2 yang secara sadar mengambil tanggung jawab atas pengasingannya menderita kesepian ganda," tulis Bergoglio.
Mereka merasa kesepian di tengah keramaian, bagai orang asing di negeri asing. Tapi mereka juga merasakan kesepian spiritual, "pahitnya kesendirian di hadapan Tuhan."
Rasa terasing ini dirasakan paling berat ketika berdoa, tulis Bergoglio, saat orang buangan itu menjadikan dirinya terpisah dari orang lain - di tengah ketenangan kapel yang gelap, mungkin, sebelum saudara2 Yesuitnya terbangun.
Orang yang dibuang juga merasa isolasi ini dalam doa itu sendiri, ketika ia merenungkan jarak antara keinginan dirinya dan rencana Tuhan.
Para nabi Israel merasakan rasa sakit ini, tulis Bergoglio, mengutip Yeremia, yang mengatakan kepada Tuhan ia terlalu muda untuk memikul tanggung jawab yang berat tersebut.
Namun, Yeremia menjalankan misinya, berusaha memimpin orang2 Yahudi melalui kekacauan politik. Pada akhirnya, ia dikenang hanya bagi "pertikaian" dan kontradiksi yang ditinggalkannya, tulis Bergoglio.
Misi Yeremia gagal, orang buangan ini sedih, menangis di tepi sungai Babilon. Beberapa sarjana mengatakan ia terjerumus ke dalam masa2 diam membisu. Tidak yakin bagaimana cara bisa pulang kembali ke rumah, nabi ini melalukan usaha terakhirnya: doa.
"Ini adalah doa dari seseorang yang memberikan segalanya, dan ingin - setidaknya - bahwa Tuhan akan berada di sisinya," Bergoglio menulis. "Tapi dalam kehidupan, kadang-kadang seolah-olah Tuhan menempatkan dirinya di sisi lain."
Pastor Angel Rossi: Cordoba mengubah Bergoglio menjadi lebih baik. |
Hampir semua orang yang saya ajak bicara di Cordoba mendorong saya untuk mewawancarai Pastor Angel Rossi, seseorang yang oleh Paus Fransiskus disebut sebagai "anak spiritualnya."
Pada hari terakhirku di kota itu, saya berhasil mengajaknya duduk bersama di kapel Manzana Jesuitica.
Rossi terlihat sedikit mirip Bergoglio muda: sama kacamatanya dengan frame-nya yang tipis, sama rambutnya yang hitam berseling putih.
Dalam hal-hal rohani, mereka bisa disebut kembar. Rossi memimpin komunitas Jesuit di Manzana Jesuitica, serta mengurus badan amal, memberi kuliah, memimpin retret spiritual dan menulis.
Bergoglio menerima Rossi ke dalam Serikat Yesus pada tahun 1976, ketika Bergoglio masih jadi provinsial. Menurut perkiraan Rossi, mereka hidup di bawah atap yang sama selama tujuh atau delapan tahun.
Saya memintanya menjelaskan tentang Bergoglio.
Jika kamu mengenalnya dengan baik, itu hampir mustahil, jawab Rossi.
Dia rendah hati namun percaya diri, tukang pelanggar aturan tapi disiplin. Dia pendiam tapi dapat bebas berbicara mengenai pikirannya. Dia sangat spiritual, tapi banyak akal - persilangan antara orang suci di gurun dan politisi lihai. Dia adalah orang yang kuat dan mau bertindak, yang menghabiskan banyak waktu untuk doa dan perenungan.
Ini gambaran yang bagi banyak Yesuit lain mungkin cocok bagi diri mereka.
"Kontradiksi adalah bagian dari diri kita," kata Rossi.
Tapi kontradiksi itu sering membuat bingung umat Katolik di Argentina, yang menganggapnya sebagai seorang konservatif retrograde. Rossi menyebut keputusan untuk mengirim Bergoglio ke Cordoba secara "manusiawi tidak adil" dan mengatakan itu menyebabkan kekhawatiran di kalangan Jesuit muda.
Tapi Cordoba mengubah Bergoglio menjadi lebih baik, kata Rossi.
"Bisa saya katakan bahwa banyak hal yang dijalaninya dalam hidup sekarang ini berawal di sini di Cordoba."
Seperti benih yang ditanam di tanah keras musim dingin, kata Rossi. Selama berbulan-bulan, bumi terlihat tandus, tapi di musim semi, buahnya muncul.
"Mereka tersembunyi dari luar," lanjut Rossi, "tapi orang akan kagum melihat ke mana orang-orang besar ini pergi di saat-saat hening itu."
Saya bertanya: Apa yang berubah pada Bergoglio setelah ke Cordoba?
"Bukan Bergoglio yang berbeda," Rossi mengoreksi saya. "Ini adalah Bergoglio yang telah sepenuhnya berkembang, yang telah memperluas jangkauannya dan menemukan misinya."
Dua tahun setelah pengasingannya, pada bulan Juni 1992, Bergoglio diangkat menjadi uskup pembantu di Buenos Aires. Dia telah dekat dengan Uskup Agung Antonio Quarracino di kota itu, yang secara pribadi mengajukan petisi pada Paus Yohanes Paulus II atas nama anak didik nya.
Enam tahun kemudian, pada tahun 1998, Bergoglio sendiri diangkat menjadi Uskup Agung Buenos Aires, orang Katolik yang paling berkuasa di Argentina.
Itu peristiwa pembalikan yang dramatis dari kesepian dan penderitaan yang dialaminya di Cordoba, tapi Bergoglio mengatakan ia membawa pulang pelajaran penting.
"Kamu harus menjalani pengasinganmu," katanya kepada seorang politisi yang dipaksa mengundurkan diri. "Dan ketika kamu pulang kembali, kamu akan lebih bermurah hati, lebih ramah, dan ingin melayani orang-orang dengan lebih baik."
Sebagai Uskup Agung Buenos Aires, Bergoglio mengatakan, ia memastikan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Dia berkonsultasi dengan uskup pembantu dan para imamnya, meminta pendapat mereka sebelum membuat keputusan, pendekatan ini dibawanya ke kepausan.
Sebelum saya meninggalkan Jesuit Residencia, saya melihat sekali lagi ruang tempat Bergoglio tinggal, menyentuh meja dan membuka lemarinya, membayangkan lemari itu penuh jubah hitam calon paus ini.
Saya berjalan sebentar ke kapel di mana Bergoglio berdoa dalam gelap. Saya berlutut di bangku pertama - tempatnya - kayu berderit di bawah berat lututku. Dalam keheningan pagi, dengan patung-patung orang-orang kudus Yesuit menatap saya, sejenak saya merenungkan segala sesuatu yang saya pelajari di Cordoba. Lalu bangkit dan meninggalkan gereja.
---------------------
Iglesia de la La Compania di Manzana Jesuitica atau Blok Yesuit. |
Untuk mencari potongan terakhir dari teka-teki puzzle, saya pergi menemui Pastor Timotius Kesicki, ketua Konferensi Yesuit di Washington.
Kesicki adalah campuran kinetik antara energi dan ide-ide; seorang yang rendah hati meskipun kedudukannya tinggi, yang membuatnya menjadi kepala penghubung antara Yesuit Amerika Utara dan superior jenderal di Roma. Dijuluki "Paus hitam" karena memakai jubah hitam dan memimpin ordo klerus terbesar di gereja, superior jenderal tak tertandingi pengaruhnya pada Serikat Yesus.
Sementara kita bicara di kantor pusat kota Washington baru-baru ini, Kesicki melompat dari tempat duduknya mengambil sebuah buku yang menjelaskan butir penting tentang Yesuit. Sesaat sebelum kami bertemu, dia telah mengirimi salinan pedoman untuk provinsial Yesuit, untuk membantu saya memahami keputusan yang dibuat Bergoglio sebagai pemimpin Yesuit dan keputusan pemimpin Yesuit untuk dia.
Ketika saya membaca bagian tentang "menyatukan hati dan pikiran," mata saya terbelalak. Konstitusi Yesuit, yang menjadi dasar bagi pedoman itu, menyatakan:
"Siapa pun yang dipandang menjadi penyebab perpecahan di antara mereka yang hidup bersama, yang menjauhkan orang di antara mereka sendiri atau dari kepala mereka, harus dengan penuh ketegasan dipisahkan dari masyarakat itu, bagai wabah sampar yang dapat menginfeksi dengan serius jika obat tidak cepat diberikan."
Jadi, itu sebabnya Bergoglio dibuang, pikirku. Meski ia tidak melakukan kesalahan, ia jelas menyebabkan perpecahan dalam Yesuit Argentina.
Tidak mudah untuk memindahkan orang, kata Kesicki. Coba tanya saja pada CEO perusahaan sekuler bagian apa yang tersulit dari pekerjaan mereka: Mereka hampir selalu akan bilang masalah personalia. Manusia.
Pada saat yang sama, Yesuit dipanggil untuk berada di parit sosial, persimpangan ideologi2, tempat di mana Firman dan dunia berkumpul dan berkonflik. Perdebatan mengenai bagaimana mendefinisikan keberhasilan di tempat seperti itu tampaknya hampir tak terelakkan.
"Orang bisa berkata bahwa jika Anda tidak memiliki perbedaan2 pendapat seperti itu," kata Kesicki, "Anda bukan benar-benar Yesuit."
"Jadi ketegangan itu merupakan bagian dari DNA Yesuit '?" tanya saya.
"Ini adalah DNA dari Injil!" dia menjawab. "Lihatlah para rasul: Petrus mati terbalik di kayu salib; apa itu yang dia harapkan?"
Sebelumnya dalam wawancara kami, Kesicki menanyakan sesuatu yang mirip itu: "Apakah salib itu promosi?"
Pertanyaannya berdering di kepala saya selama beberapa hari. Aku berpikir tentang Bergoglio di Cordoba dan latihan rohani Jesuit yang mendesak dia untuk menyamakan dirinya dengan Kristus yang disalibkan.
Saya ingat pernah membaca sebuah wawancara dengan Bergoglio di mana ia mengungkapkan kekagumannya pada buku berjudul "A Theology of Failure," yang ditulis pada tahun 1978 oleh Pastor John Navone, Yesuit Italia-Amerika.
Navone menunjukkan bahwa, dalam istilah manusia, Yesus adalah sebuah kegagalan.
Dia dibenci oleh orang Romawi dan oleh banyak orang Yahudi sendiri. Bahkan keluarga dan pengikut Yesus tidak sepenuhnya memahami-Nya. Yang paling menyedihkan, Yesus mati mengira ia telah ditinggalkan oleh Tuhan dan telah gagal pada misi yang telah ditetapkan Tuhan.
Tapi itu bukan akhir dari cerita. Perangkat kematian dan keputusasaan - salib itu - menjadi simbol kebangkitan, kehidupan baru, dan dengan bangga ditaruh di atas gereja-gereja yang tak terhitung jumlahnya.
Pada tahun 2010, Bergoglio berkata pada dua wartawan bahwa buku Navone membawanya untuk merenungkan tema kesabaran.
"Ada kalanya hidup kita tidak diminta untuk melakukan banyak hal tapi untuk 'bertahan', menahan," katanya, "untuk menahan keterbatasan kita sendiri serta orang lain."
Saya menelepon Navone untuk bertanya tentang pengaruhnya pada pikiran Paus: bagaimana Bergoglio yang menderita itu menjadi Fransiskus yang penyabar.
Saya tanya berapa banyak dia tahu tentang pengasingan Bergoglio ini.
Navone tahu semua tentang Cordoba.
"Ada titik persimpangan yang terberkati antara teologi dan krisis," kata dia. "Semacam cahaya dalam gelap baginya."
--------------
Di kemudian hari, Navone dan saya bicara pada hari Paus Fransiskus membuat umat Katolik lebih mudah membatalkan pernikahan mereka, dan sekitar seminggu setelah ia mendorong para imam untuk mengampuni wanita yang telah melakukan aborsi.
Navone dan saya berbicara tentang belas kasihan, dan bagaimana sulitnya memaafkan orang lain jika Anda tidak akrab dengan kegagalan Anda sendiri. Kami bicara tentang Paus yang bepergian ke daerah pinggiran karena ia sendiri dikirim ke sana. Dan kami bicara tentang 'kebebasan batinnya" Paus Fransiskus yang jelas terlihat, penolakannya untuk mengikuti harapan orang lain.
Menurut pengakuannya sendiri, Bergoglio bukan orang yang sempurna ketika ia meninggalkan Cordoba. Dia tidak sepenuhnya berdamai dengan Yesuit sampai setelah ia terpilih menjadi Paus pada tahun 2013.
Tapi caranya berdoa, berpikir dan bertindak, semua dibentuk oleh Serikat Yesus - dan, seperti semua Yesuit, ia percaya bahwa menjadi baik butuh lebih dari menghindari konflik dan menempatkan beberapa lembar uang dalam kantong koleksi.
Iman adalah disiplin harian, membutuhkan latihan spiritual bagi jiwa, bahkan ketika - atau terutama ketika - jiwa Anda menderita, 800 km dari rumah, sendirian di kamar merah yang kecil itu.
Saya tidak tahu persis apa yang terjadi pada Bergoglio pada malam2nya yang gelap di Cordoba. Saya mungkin tidak akan pernah tahu.
Tapi ketika saya melihat Paus sekarang di Lapangan Santo Petrus, mengkhotbahkan belas kasihan bagi segala macam orang berdosa, saya tidak bisa tidak ingat lagi pada orang buangan itu, yang berlutut dalam kegelapan kapel, sendirian, dengan kejutan2 dari Tuhan.
===========================
Sumber: http://edition.cnn.com/interactive/2015/09/specials/pope-dark-night-of-the-soul/
===========================
No comments:
Post a Comment