Sunday, May 28, 2017

Bolehkah diadakan misa bagi orang Katolik yang bunuh diri?

Tahun 2014 lalu secara mengejutkan dan tragis seorang pastor di Ghana melakukan bunuh diri. Uskup Joseph Osei-Bonsu dari Ghana mengeluarkan pernyataan yang menjelaskan ajaran Gereja Katolik tentang bunuh diri, termasuk pertanyaan apakah orang yang melakukan bunuh diri ditakdirkan untuk pergi ke neraka atau apakah orang tersebut dapat diberi penguburan gereja Katolik atau tidak. Berikut adalah pernyataannya:

Artikel ini berusaha untuk mempresentasikan ajaran Gereja Katolik tentang bunuh diri. Apa itu bunuh diri?

Bunuh diri adalah pembunuhan diri sendiri, tanpa paksaan, dan secara sengaja. Ini jangan dikacaukan dengan penyerahan diri suka rela dalam pengorbanan diri, seperti waktu membela orang yang diserang, atau memberikan perawatan kesehatan kepada orang sakit yang sangat menular, atau mempertahankan iman kita dalam penganiayaan. Dalam kasus ini, seseorang tidak menginginkan kematiannya namun menerimanya sebagai hasil yang tak terelakkan krn melakukan apa yang harus dilakukan demi keadilan, belas kasihan, atau iman.

Dalam perawatan kesehatan, menolak "cara pengobatan yang biasa" (misal infus cairan mknan) dianggap bunuh diri. Menolak cara "luar biasa" bukanlah bunuh diri namun lebih tepat dipahami dengan rendah hati menerima keterbatasan hakiki dari kondisi manusia dan membiarkan patologi yang fatal berjalan dengan sendirinya. "Bunuh diri dengan bantuan", konsep terkait dengan hal di atas, adalah membantu orang mengakhiri hidup sendiri dengan memberikan sarana dan pengetahuan tentang bagaimana melakukannya.

Sejumlah teori telah dikembangkan untuk menjelaskan penyebab bunuh diri. Teori psikologis menekankan faktor kepribadian dan emosional, sementara teori sosiologis menekankan pengaruh tekanan sosial dan budaya pada individu. Faktor sosial seperti hidup menjanda, tidak memiliki anak, tinggal di kota-kota besar, standar kehidupan yang tinggi, gangguan mental, dan penyakit fisik punya kaitan dengan tingkat bunuh diri. Di sini kita tidak bisa terlibat dalam diskusi tentang teori-teori ini, karena fokus utama artikel ini adalah ajaran Gereja Katolik berkaitan dengan bunuh diri.

Gereja Katolik menentang bunuh diri dengan berpegang pada prinsip kesucian hidup dan prinsip-prinsip kedaulatan Allah, penatalayanan manusia, dan larangan pembunuhan. Argumen religius mengklaim bahwa hidup telah diberikan kepada kita untuk digunakan dan berbuah, namun pada akhirnya menjadi milik Tuhan dan dengan demikian kita tidak berhak mengakhirinya ketika kita memilih demikian.

Konsekuensinya, kita harus sadar bahwa pelestarian hidup kita bukanlah sesuatu yang bersifat boleh-memilih (discretionary) tapi wajib. Kita harus memelihara dan menjaga kehidupan fisik dan spiritual kita. Dalam hubungan ini, Katekismus Gereja Katolik tahun 1997 menegaskan, "Setiap orang bertanggung jawab atas hidupnya di hadapan Allah yang telah memberikannya kepadanya. Tuhan tetap Penguasa Kehidupan yang berdaulat. Kita berkewajiban untuk menerima hidup dengan syukur dan melestarikannya demi kehormatan dan keselamatan jiwa kita. Kita adalah penatalayan, bukan pemilik, dari kehidupan yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita. Kehidupan bukan milik kita untuk dibuang" (KGK # 2280).

Mengambil nyawa seseorang itu melanggar kedaulatan Allah atas kehidupan, menyerang martabat manusia, dan merupakan pelanggaran terhadap kasih yang sejati. Bunuh diri melanggar cinta sejati untuk diri sendiri dan tetangga -- keluarga, teman, tetangga, dan bahkan kenalan. Orang lain membutuhkan kita dan bergantung kepada kita dengan cara yang mungkin tidak kita ketahui. Seperti yang dikatakan Katekismus, "Bunuh Diri bertentangan dengan kecenderungan alami manusia untuk melestarikan dan mengabadikan hidupnya. Hal ini sangat bertentangan dengan kasih yg adil pd diri sendiri.  Hal itu juga melanggar kasih pd sesama karena secara tidak adil mematahkan ikatan solidaritas dengan keluarga, bangsa, dan masyarakat manusia lainnya yang dengannya kita terus memiliki kewajiban. Bunuh diri bertentangan dengan cinta akan Tuhan yang hidup" (KGK # 2281).

Bunuh diri secara tradisional dianggap sebagai tindakan moral yang salah, suatu dosa berat. Oleh karena itu, secara obyektif, bunuh diri adalah dosa berat. Namun, kita harus ingat bahwa agar dosa menjadi fatal dan mengorbankan keselamatan seseorang, tindakan objektif itu (dalam hal ini pengambilan nyawa seseorang) harus berat atau serius; orang tersebut harus memiliki cukup kecerdasan (tahu bahwa ini salah); Dan orang tersebut harus memberikan persetujuan penuh atas kehendak (berniat melakukan tindakan ini).

Dalam kasus bunuh diri, seseorang mungkin tidak memberikan persetujuan penuh atas kehendak tadi. Studi terbaru yang memperhatikan keadaan sosial dan pribadi seputar bunuh diri menunjukkan bahwa tindakan tersebut seringkali bukan tindakan sukarela, dan karena itu meski mereka keliru dan secara moral salah, mereka tidak selalu dapat disalahkan. Ketakutan, tekanan, ketidaktahuan, kebiasaan, gairah, dan masalah psikologis dapat menghalangi pelaksanaan kehendak sehingga seseorang mungkin tidak sepenuhnya bertanggung jawab atau bahkan tidak bertanggung jawab sama sekali atas sebuah tindakan. Jadi, sementara tindakan bunuh diri itu secara obyektif tidak bermoral, tingkat kesalahan untuk bunuh diri bergantung pada keadaan pikiran saat tindakan tersebut dilakukan.

Dalam hubungan ini, Katekismus menyatakan, "Gangguan psikologis yg berat, kesedihan mendalam, atau ketakutan luar biasa akan kesusahan, penderitaan, atau penyiksaan dapat mengurangi tanggung jawab seseorang yang melakukan bunuh diri" (KGK # 2282). Kualifikasi ini tidak membuat tindakan bunuh diri benar dalam keadaan apapun; Namun, hal itu membuat kita menyadari bahwa orang tersebut mungkin tidak benar-benar bersalah atas tindakan tersebut karena berbagai keadaan atau kondisi pribadi.

Seperti Gereja, masyarakat tradisional kita menganggap bunuh diri itu salah secara moral dan tidak dapat diterima. Di antara orang Akans, misalnya, itu dianggap sebagai kekejian. Hal ini dianggap sangat serius sehingga di masa lalu orang yang meninggal menjadi sasaran persidangan di pengadilan sebelum dimakamkan dan selalu dinyatakan bersalah. Anggapannya adalah bahwa dengan melakukan bunuh diri, orang tersebut berusaha melarikan diri dari beberapa kejahatan serius yang dia lakukan. Orang seperti itu dengan terburu-buru dimakamkan setelah "persidangan" tanpa penghormatan yg biasa diberikan kepada orang yang tidak meninggal karena bunuh diri.

Kita dapat membedakan perlakuan tradisional ini dengan bagaimana mereka diperlakukan oleh Gereja Katolik saat ini. Sementara Gereja menyatakan bahwa kematian dengan bunuh diri adalah dosa berat atau serius, Gereja tetap berdoa untuk orang-orang yang telah melakukan bunuh diri, karena mengetahui bahwa Kristus akan menghakimi almarhum dengan wajar dan adil. Gereja percaya bahwa hanya Tuhan yang bisa membaca kedalaman jiwa kita. Hanya Dia yang tahu betapa kita mengasihi Dia dan bagaimana kita bertanggung jawab atas tindakan kita. Pandangan Gereja adalah bahwa kita harus menyerahkan keputusan mengenai orang-orang yang bunuh diri itu kepada Tuhan. Gereja tetap mengajarkan bahwa ada neraka, yang dipahami sebagai pemisahan secara pasti dari kasih Tuhan, namun menyerahkannya kepada Tuhan untuk memutuskan siapa yang harus pergi ke sana. Katekismus, bagaimanapun, menawarkan kata-kata harapan besar: "Kita seharusnya tidak putus asa akan keselamatan abadi bagi orang-orang yang telah mengakhiri hidup mereka sendiri. Dengan cara yang dikenal olehNya saja, Tuhan dapat memberikan kesempatan untuk pertobatan yang bermanfaat. Gereja berdoa untuk orang-orang yang telah mengambil nyawanya sendiri" (KGK # 2283). Oleh karena itu, kami menawarkan Misa untuk ketenangan jiwa seorang korban bunuh diri, yang meminta kasih dan belas kasih yang lembut dari Tuhan, dan karunia penyembuhan-Nya bagi orang-orang tercinta yang berduka. Gereja juga berdoa untuk kerabat dekat almarhum, supaya sentuhan Tuhan yang penuh kasih dan penyembuhan akan menghibur mereka yang terkoyak akibat dampak bunuh diri.

Gereja mengajarkan melalui tindakan penyembahan publiknya yang dikenal sebagai liturgi, dan liturgi pada kesempatan seperti ini menekankan belas kasih Tuhan. Ada banyak pasal yang menekankan belas kasih Tuhan yang berlimpah. Kami hanya mengutip beberapa. Menurut Mazmur 103: 10-12, Tuhan "tidak melakukannya sesuai dengan dosa-dosa kita, atau membalas kita sesuai dengan kesalahan kita. Karena setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya terhadap orang-orang yang takut akan Dia; Sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya daripada kita pelanggaran kita". Menurut Yesaya 1:18, "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba."

Di masa lalu, orang sering ditolak upacara pemakaman atau dimakamkan di pemakaman Gereja. Namun, beberapa pertimbangan selalu diperhitungkan mengenai keadaan mental seseorang saat itu. Hukum Kanon tidak lagi secara khusus menyebutkan bunuh diri sebagai penghalang bagi upacara pemakaman atau pemakaman gereja. Kanon 1184 dari Kode Hukum Kanon hanya menyebutkan tiga kasus orang yang dapat ditolak utk upacara pemakaman atau pemakaman gereja: (i) seorang yg dikenal murtad (seseorang yang telah meninggalkan iman Kristen), seorang bidah (seseorang yang memegang atau mengajarkan doktrin yg bertentangan dengan ajaran Gereja) atau skismatik (seseorang yang telah memisahkan diri dari gereja); (ii) mereka yang meminta kremasi dengan tujuan yang bertentangan dengan iman Kristen; dan (iii) orang yg nyata2 berdosa yg kepadanya pemakaman Gereja tidak dapat diberikan tanpa menimbulkan skandal publik kepada umat beriman. Pembatasan ini hanya berlaku jika tidak ada pertanda pertobatan sebelum kematiannya.

Uskup setempat mempertimbangkan kasus-kasus yang meragukan dan dalam praktiknya pastor yang bijaksana harus selalu berkonsultasi dengan uskup sebelum menolak misa pemakaman bagi  orang yang meninggal. Kasus bunuh diri tertentu mungkin masuk ke dalam kasus ketiga - seorang pendosa yang nyata dan tidak bertobat - terutama jika bunuh diri terjadi setelah kejahatan berat lainnya seperti pembunuhan. Namun, dalam kebanyakan kasus, kemajuan yang dicapai dalam studi penyebab bunuh diri menunjukkan bahwa sebagian besar kasus merupakan akibat dari akumulasi faktor psikologis yang menghambat tindakan kehendak bebas dan deliberatif. Dengan demikian, kecenderungan umum adalah melihat tindakan ekstrem ini hampir selalu dihasilkan dari dampak keadaan mental yang tidak seimbang dan, sebagai akibatnya, tidak lagi dilarang mengadakan upacara pemakaman bagi seseorang yang telah melakukan bunuh diri, walaupun setiap kasus masih hrs dipelajari patut tidaknya. 

Rev.Joseph Osei-Bonsu,
Uskup Konongo-Mampong, Ghana.
(Sumber: The Catholic Standard, Ghana)


E-mail: engafrica@vatiradio.va



Sunday, May 21, 2017

Salah menafsirkan kitab suci

Laudato Si 67.

This is not a correct interpretation of the Bible as understood by the Church. Although it is true that we Christians have at times incorrectly interpreted the Scriptures, nowadays we must forcefully reject the notion that our being created in God’s image and given dominion over the earth justifies absolute domination over other creatures. The biblical texts are to be read in their context, with an appropriate hermeneutic, recognizing that they tell us to “till and keep” the garden of the world


Catatan2 penting: Protestan, Ortodoks

Jangan pernah menobatkan orang Ortodoks. Mereka saudara kita dlm Yesus Kristus.

http://m.vatican.va/content/francescomobile/en/speeches/2016/october/documents/papa-francesco_20161001_georgia-sacerdoti-religiosi.html

Saya tidak tertarik menobatkan orang2 Evangelical ke Katolik.

http://www.catholicherald.co.uk/issues/july-24th-2015/the-popes-great-evangelical-gamble/

Ecumenism

http://www.catholicworldreport.com/Item/5268/Ecumenism_Proselytism_and_the_Danger_of_Doctrinal_Ambiguity.aspx

Mempertobatkan, menginjilkan

https://www.catholicculture.org/commentary/otc.cfm?id=1419


How many times do we see evangelization as involving any number of strategies, tactics, maneuvers, techniques, as if we could convert people on the basis of our own arguments. Today the Lord says to us quite clearly: in the mentality of the Gospel, you do not convince people with arguments, strategies or tactics. You convince them by simply learning how to welcome them. (7/12/15, Homily)
http://w2.vatican.va/content/francesco/en/homilies/2015/documents/papa-francesco_20150712_paraguay-omelia-nu-guazu.html