Saturday, December 31, 2016

Suatu Pagi di Hari Natal

Karya: Pearl S. Buck
=================

Dia terbangun tiba-tiba dan benar-benar terjaga. Saat itu pukul empat, jam saat ayahnya selalu menyuruhnya bangun untuk membantu memerah susu. Aneh, kebiasaan masa mudanya masih menempel padanya sampai sekarang!

Lima puluh tahun yang lalu, dan ayahnya telah meninggal selama tiga puluh tahun, namun ia masih terbangun pada pukul empat pagi. Dia telah membiasakan dirinya untuk berbalik dan tidur lagi; tapi pagi ini Natal, dia tidak berusaha tidur lagi.

Mengapa ia merasa begitu malam ini? Dia menyusuri kembali sang waktu, yang dilakukannya dengan mudah saat ini. Dia berusia lima belas tahun dan masih di tanah pertanian ayahnya. Dia mencintai ayahnya. Dia tidak tahu itu sampai suatu hari beberapa hari sebelum Natal, ketika ia mendengar apa yang dikatakan ayahnya kepada ibunya.

"Mary, aku sebenarnya tidak mau membangunkan Rob di pagi hari. Dia begitu cepat besar dan ia butuh tidur. Coba kamu lihat bagaimana tidurnya ketika aku pergi membangunkannya! Aku berharap bisa mengerjakan sendiri."

"Hm, kamu tidak bisa, Adam," suara ibunya cepat. "Selain itu, dia bukan anak kecil lagi. Saatnya ia mengambil tanggung jawab."

"Ya," kata ayahnya perlahan. "Tapi saya benar-benar tidak suka membangunkannya."

Ketika ia dengar kata-kata ini, sesuatu dalam dirinya berbicara: ayahnya mencintainya! Dia tidak pernah memikirkan itu sebelumnya, menganggap biasa hubungan darah mereka. Baik ayahnya maupun ibunya tidak pernah mengungkapkan bagaimana mereka menyayangi anak-anaknya -- mereka tidak ada waktu untuk hal-hal seperti itu. Selalu ada begitu banyak hal yang harus dilakukan di tanah pertanian.

Tapi sekarang ia tahu ayahnya mencintainya; dia tidak akan malas-malasan di pagi hari dan tidak perlu dipanggil lagi. Dia bangun, tersandung-sandung setengah tidur, dan memakai pakaiannya; matanya tertutup, tapi ia bangkit.

Dan kemudian pada malam sebelum Natal, tahun ketika ia berusia lima belas tahun, ia berbaring selama beberapa menit, berpikir tentang hari esoknya. Mereka miskin, dan sebagian besar kegembiraannya adalah pada masakan ayam kalkun yang mereka besarkan sendiri, dan kue pai yang dibuat ibunya. Saudara-saudara perempuannya menjahit hadiah-hadiah dan ibu serta ayahnya selalu membelikannya sesuatu yang diperlukan; tidak hanya jaket hangat, tapi juga sesuatu yang lebih penting, seperti misalnya buku. Dan ia juga menabung dan membelikan mereka semua sesuatu.

Harapannya, saat Natal ketika ia berusia lima belas tahun itu, ia punya suatu hadiah yang lebih baik untuk ayahnya. Seperti biasa ia pergi ke toko "sepuluh-sen" dan beli dasi. Tampak cukup bagus sampai ia berbaring berpikir malam sebelum Natal itu. Dia melihat keluar dari jendela lotengnya; bintang-bintang bersinar terang.

"Ayah," dia pernah tanya saat dia masih kecil, "Apa yang dimaksud dengan kandang?"

"Itu hanya gudang jerami," ayahnya menjawab, "seperti punya kita."

Kemudian Yesus telah lahir di gudang, dan ke gudang lah para gembala datang ...

Pikiran itu menohoknya seperti belati perak. Mengapa dia tidak memberikan ayahnya hadiah khusus juga, di luar sana di gudang? Dia bisa bangun pagi, lebih awal dari pukul  empat, ia bisa merayap ke kandang dan membereskan, memerah susu. Dia akan melakukannya sendiri, memerah susu dan membersihkan, dan kemudian ketika ayahnya datang dia akan melihat semua sudah selesai. Dan dia akan tahu siapa yang melakukannya. Dia tertawa sendiri sambil menatap bintang-bintang. Itulah yang akan dia lakukan, dan dia tidak boleh tidur terlalu lelap.

Dia mungkin terbangun dua puluh kali, menyalakan korek api setiap kali untuk melihat jam - tengah malam, lalu setengah dua, dan kemudian pukul dua.

Pada pukul tiga kurang seperempat dia bangkit dan mengenakan pakaiannya. Dia seperti merayap ke lantai bawah, berhati-hati agar papan tidak berderit, dan membawa dirinya keluar. Sapi menatapnya sambil mengantuk dan terkejut. Terlalu pagi bagi mereka juga.

Dia tidak pernah memerah sendirian sebelumnya, tapi tampaknya mudah. Dia terus memikirkan bagaimana ayahnya akan terkejut. Ayahnya akan datang dan membangunkan dia, lalu berkata bahwa dia akan mulai lebih dulu saat Rob berpakaian. Dia akan pergi ke kandang, membuka pintu, dan kemudian dia akan pergi mengambil dua kaleng susu kosong yang besar. Tapi kaleng-kaleng itu tidak akan menunggu kosong, mereka akan berdiri di rumah-susu itu, penuh.

"Waduh," ia seakan mendengar ayahnya berseru.

Dia tersenyum dan memerah terus, dua aliran yang kuat bergegas masuk ke ember, berbuih dan harum.

Tugas ini selesai dengan lebih mudah dari pada yang dia bayangkan sebelumnya. Untuk kali ini memerah bukan lagi suatu tugas. Itu sesuatu yang lain, hadiah untuk ayahnya yang mencintainya. Dia selesai, dua kaleng susu penuh, dan ia menutupinya, dan menutup pintu dengan hati-hati, memastikan gerendel terpasang.

Kembali di kamarnya, dia hanya punya satu menit untuk melepas pakaiannya dalam kegelapan dan melompat ke tempat tidur, karena ia mendengar ayahnya naik.  Dia menarik selimut ke atas kepalanya untuk meredam napasnya yang memburu. Pintu terbuka.

"Rob!" Ayahnya berkata. "Kita harus bangun, nak, sekalipun ini hari Natal."

"Aw-benar," katanya dengan mengantuk.

Pintu tertutup dan ia berbaring diam, tertawa sendiri. Hanya dalam beberapa menit ayahnya akan tahu. Hatinya menari, siap untuk melompat dari tubuhnya.

Menit-menit seperti tak ada habisnya -- sepuluh, lima belas, ia tidak tahu berapa banyak -- dan ia mendengar jejak ayahnya lagi. Pintu terbuka dan dia berbaring diam.

"Rob!"

"Ya,  ayah--"

Ayahnya tertawa, tawa aneh yang disertai isakan.

"Kau pikir kau akan menipu saya, kan?" Ayahnya berdiri di samping tempat tidurnya, meraba-raba mencari dia, menarik selimutnya.

"Ini untuk Natal, Yah!"

Dia menemukan ayahnya dan mencengkeramnya dalam pelukannya. Dia merasa pelukan ayahnya di sekeliling badannya. Saat itu gelap dan mereka tidak bisa saling lihat.

"Nak, terima kasih ya. Tidak ada orang yang pernah lebih baik"

"Oh, Ayah, aku ingin kau tahu -- aku ingin jadi baik!" Kata-kata itu keluar dari dirinya sekehendaknya sendiri. Dia tidak tahu harus berkata apa. Hatinya penuh dengan cinta.

Dia bangkit dan memakai pakaiannya lagi dan mereka pergi ke pohon Natal. Oh indahnya Natal ini, dan bagaimana hatinya nyaris meledak lagi dengan rasa malu dan bangga sementara ayahnya bercerita pada ibunya dan adik-adiknya mendengarkan bagaimana dia, Rob, telah bangun dan bekerja sendiri.

"Hadiah Natal terbaik yang pernah ayah peroleh, dan akan ayah ingat, nak, setiap tahun pada pagi hari Natal, seumur hidup." ...

Mereka berdua mengingatnya, dan sekarang setelah ayahnya meninggal, dia ingat sendiri: fajar Natal yang terberkati, ketika, dia, sendirian dengan sapi di kandang, mempersiapkan hadiah pertamanya demi cinta sejati.

Natal ini ia ingin menulis kartu untuk istrinya dan mengatakan padanya betapa ia mencintainya; sudah lama ia tidak mengatakannya, meskipun ia mencintainya dengan sangat istimewa, lebih dari yang pernah dimilikinya saat mereka masih muda. Dia beruntung istrinya mencintainya. Ah, itulah sukacita sejati dari kehidupan, kemampuan untuk mencintai. Cinta masih hidup dalam dirinya, masih.

Tiba-tiba terpikir olehnya bahwa cinta itu hidup karena lama sebelum ini dia lahir dalam dirinya saat ia tahu ayahnya mencintainya. Demikianlah: hanya cinta yang bisa membangkitkan cinta. Dan ia bisa memberikan hadiah itu lagi, dan lagi.  Pagi ini, pagi hari Natal yang terberkati ini, ia akan memberikannya kepada istri tercintanya. Dia bisa menuliskannya di surat untuk dibaca dan disimpan terus selamanya. Dia pergi ke mejanya dan mulai surat cintanya kepada istrinya: Kekasihku tersayang ...

Natal yang begitu amat membahagiakan!

No comments:

Post a Comment