Kebetulan
kemarin Hari Guru. Aku jadi mengenang para guru yang membimbingku jadi
“orang” (bukan monyet) seperti sekarang ini. Siapa ya, mereka itu? Balik
62 tahun lalu….
Suster Bernardi. Orang Belanda. Menjelajah jauh
kemari, lebih dari separo belahan dunia, untuk berkarya di Indonesia…
Tidak banyak yang kuingat karena telah begitu lama. Periang. Baik. Tidak
pernah menyentil kupingku yang nakal waktu itu… Kalau lewat di sisi
mejaku, aku sering coba mengintip ke sela2 kerudung kepalanya. Katanya
kepala suster gundul… Tapi tidak pernah terlihat juga, hehehe…
Hanya
kenangan sedikit itu yg kuingat. Tapi tidak pernah lupa. Karena setiap
kali lagu “O… O… Bernardine” yang dinyanyikan Pat Boone (?) menggema,
aku selalu ingat susterku ini. Terima kasih suster, untuk didikanmu pada
masa kecilku.
Friday, January 29, 2016
Para Biarawan yang Kukenang (2)
Romo
Wakers
Orang Belanda juga. Entah bagaimana ejaan yang benar. Dia romo di parokiku waktu aku kecil. Fasih berbahasa Jawa. Dia biasanya kasih kotbah dalam bahasa Jawa (kotbah = homili, baru aku ketahui 4- 5 tahun terakhir; kita orang Katolik senang kasih istilah baru yang muluk2, ya).
Dia periang (bukankah Paus bilang, kita org Kristen harus riang? Krn kita mewartakan kabar gembira). Selalu terlihat senyum simpul kalau dia berjalan ke manapun... Mengapa aku selalu ingat dia? Karena tiap 2- 3 bulan dia akan berjalan kaki, datang ke rumah. Mengobrol dengan orang tuaku, meski ortu sama sekali bukan aktivis di gereja (tiap minggu ke gereja, sih…)
Orang Belanda juga. Entah bagaimana ejaan yang benar. Dia romo di parokiku waktu aku kecil. Fasih berbahasa Jawa. Dia biasanya kasih kotbah dalam bahasa Jawa (kotbah = homili, baru aku ketahui 4- 5 tahun terakhir; kita orang Katolik senang kasih istilah baru yang muluk2, ya).
Dia periang (bukankah Paus bilang, kita org Kristen harus riang? Krn kita mewartakan kabar gembira). Selalu terlihat senyum simpul kalau dia berjalan ke manapun... Mengapa aku selalu ingat dia? Karena tiap 2- 3 bulan dia akan berjalan kaki, datang ke rumah. Mengobrol dengan orang tuaku, meski ortu sama sekali bukan aktivis di gereja (tiap minggu ke gereja, sih…)
Dari rumahku, dia akan berjalan lagi ke rumah umat Katolik lain. Aku
mendambakan romo seperti itu. Alangkah senangnya, kalau romo2 zaman
sekarang punya waktu untuk kunjungan seperti itu.
Umat banyak? Tidak perlu 2 bulan. Cukup setahun sekali, atau 2 tahun, atau 3 tahun... Tapi mungkin sekarang pekerjaan lebih banyak? Mungkin perlu kurangi seminar2 dll.? Entahlah…
Terima kasih romo... Romo telah memberi teladan pd saya utk jadi orang Katolik yg baik...
Umat banyak? Tidak perlu 2 bulan. Cukup setahun sekali, atau 2 tahun, atau 3 tahun... Tapi mungkin sekarang pekerjaan lebih banyak? Mungkin perlu kurangi seminar2 dll.? Entahlah…
Terima kasih romo... Romo telah memberi teladan pd saya utk jadi orang Katolik yg baik...
Para Biarawan yang Kukenang (5) ... Penolong hidupku…
PASTOR VAN GENUCHTEN
Siang itu, 50 tahun lalu, aku tidak tahu mau ke mana. Harus cari kos, tapi di mana? Tidak ada sanak, tidak ada saudara dekat, tak ada teman di Jakarta. Cari kos yang dekat Salemba. Minta tolong siapa? Segera pikiranku melayang menuju komunitas yang sangat kukenal: gereja. Pasti ada pastor yang bisa bantu. Aku tahu di situ ada Gereja Kramat. Tidak ada pastor yang kenal. Tidak pernah ke gereja itu. Tapi aku harus cari orang yang bisa bantu.
Dengan ayunan kaki mantap aku ke gereja, bunyikan bel, cari pastor, dan tidak lama kemudian keluar pastor Van Genuchten. Wajahnya aku sudah lupa… Seperti apa ya? Terlalu lama… “Ooo…ada tempat kos. Ayo, saya boncengkan…” Dengan sigap dia keluarkan Vespa tuanya dan kita pergi ke rumah kos. Di situlah aku mulai tinggal di Jakarta… Kalau tak dibantu pastor ini, entah bagaimana nasibku dulu…
Tapi itu baru awal… Empat bulan kemudian, duit habis. Dan benar2 habis. Tak ada duit; hari itu mungkin aku tidak makan… Ke mana harus kucari bantuan? Pastor ini lagi…
Sore2 pukul 5, aku ke gereja… Pastor Van Genuchten sedang doa di gereja. Aku duduk dua bangku di belakangnya. Waktu dia keluar, aku menghampiri. “Pastor, saya tidak punya uang untuk makan. Bisa tolong bantu?”… Berapa? … “200 rupiah.” … Dia merenung sejenak, lalu bilang “OK. Ini dari kantong saya pribadi. Mestinya gereja tidak boleh pinjamkan uang.” Kira2 begitu dia berkata. “Tapi jangan bilang2 pada orang ya,” tambahnya … 200 rupiah. Mungkin sekarang setara 600- 700 ribu rupiah.
Itu yang memungkinkan aku menjadi dokter. Beberapa bulan kemudian, sesudah aku bisa cari penghasilan lewat memberi les murid2, uang itu aku kembalikan.
Terima kasih Pastor. Kamu sudah peduli pada orang miskin… Tanpa bantuanmu entah bagaimana…
Siang itu, 50 tahun lalu, aku tidak tahu mau ke mana. Harus cari kos, tapi di mana? Tidak ada sanak, tidak ada saudara dekat, tak ada teman di Jakarta. Cari kos yang dekat Salemba. Minta tolong siapa? Segera pikiranku melayang menuju komunitas yang sangat kukenal: gereja. Pasti ada pastor yang bisa bantu. Aku tahu di situ ada Gereja Kramat. Tidak ada pastor yang kenal. Tidak pernah ke gereja itu. Tapi aku harus cari orang yang bisa bantu.
Dengan ayunan kaki mantap aku ke gereja, bunyikan bel, cari pastor, dan tidak lama kemudian keluar pastor Van Genuchten. Wajahnya aku sudah lupa… Seperti apa ya? Terlalu lama… “Ooo…ada tempat kos. Ayo, saya boncengkan…” Dengan sigap dia keluarkan Vespa tuanya dan kita pergi ke rumah kos. Di situlah aku mulai tinggal di Jakarta… Kalau tak dibantu pastor ini, entah bagaimana nasibku dulu…
Tapi itu baru awal… Empat bulan kemudian, duit habis. Dan benar2 habis. Tak ada duit; hari itu mungkin aku tidak makan… Ke mana harus kucari bantuan? Pastor ini lagi…
Sore2 pukul 5, aku ke gereja… Pastor Van Genuchten sedang doa di gereja. Aku duduk dua bangku di belakangnya. Waktu dia keluar, aku menghampiri. “Pastor, saya tidak punya uang untuk makan. Bisa tolong bantu?”… Berapa? … “200 rupiah.” … Dia merenung sejenak, lalu bilang “OK. Ini dari kantong saya pribadi. Mestinya gereja tidak boleh pinjamkan uang.” Kira2 begitu dia berkata. “Tapi jangan bilang2 pada orang ya,” tambahnya … 200 rupiah. Mungkin sekarang setara 600- 700 ribu rupiah.
Itu yang memungkinkan aku menjadi dokter. Beberapa bulan kemudian, sesudah aku bisa cari penghasilan lewat memberi les murid2, uang itu aku kembalikan.
Terima kasih Pastor. Kamu sudah peduli pada orang miskin… Tanpa bantuanmu entah bagaimana…
Para Biarawan yang Kukenang (3)... Ini paling kukenang
BRUDER ALOYSIUS
Ini biarawan yang paling banyak membentuk kepribadianku. Aku sudah SMP, di Bintang Laut. Pada usia sekianlah manusia berusaha menemukan jati dirinya, dan lewat teladan Bruder Aloysius inilah aku menemukan diri sendiri.
Dia mengajar aljabar; sekarang “matematika”. Bruder Aloysius berperawakan kecil. Tapi terkesan rapi sekali. Sama sekali tidak ada kesan galak di wajahnya, tapi juga tidak sangat murah senyum seperti Romo Wakers yg aku ceritakan sebelum ini. Yang ada adalah kesan “damai”.
Dia selalu bepergian dengan sepeda, dalam jubah putihnya (waktu itu semua bruder dan pastor pakai jubah putih ke mana pun pergi). Semua dilakukannya dengan tenang, sabar.
Untuk membantu murid2 agar mendapat nilai baik, dia sering memberi pelajaran tambahan sore hari. Tapi dia tidak memaksa; kalau merasa sudah tahu, tidak usah datang, begitu aku kenang dia. Dia menyadari bahwa murid punya berbagai tingkat kemampuan.
Aku ingat, suatu hari, dia menerangkan cara menyelesaikan soal aljabar (atau ilmu ukur, ya? Lupa)… Dia menyelesaikannya dalam, katakan saja, 10 baris. Dia lalu tanya: “Siapa yang bisa menyelesaikan dengan cara lain?” …. Seorang murid yg pandai menjawab, bisa… Dan murid itu menyelesaikannya dalam 8 baris. Mungkin guru lain akan merasa terhina kalau kalah dibanding muridnya. Tidak. Dia tidak. Belakangan aku merenung, dia pegang prinsip yang benar; guru yang pandai harus menelurkan murid yang lebih pandai. Kalau lebih bodoh, bukankah dunia akan penuh orang bodoh? Prinsip sederhana, tapi utama, yang mungkin dilupakan beberapa guru.
Lalu, ketika menerangkan sesuatu di kelas, tuuut…. suara kentut, keras, jelas, dihembuskan oleh teman di belakang. Seluruh kelas jadi riuh. Tawa dan ejekan bersahut2an… Bruder hanya tersenyum, lalu bilang: “Jangan disalahkan. Kadang manusia itu tidak bisa menahan kentut.” Semua lalu diam. Sungguh kagum dengan kata2 itu. Memang kita pasti bisa menahan kentut? Tidak. Kadang bisa, kadang tidak. Suatu kebenaran yang benar dan bruder ini mengingatkannya. (pada kasus guru lain, bruder juga, dia marah2 luar biasa. Sifat manusia memang berbeda2.)
Damai, welas asih, penuh pengertian, pintar, rapi, itu yang kukenang dari Bruder Aloysius. Sayang aku tidak bisa menemuinya. Tapi 20 tahun lalu, sebelum beliau meninggal, aku menulis surat padanya, bilang “terima kasih atas bimbingan dan teladannya” yang tidak akan kulupa sampai mati. Aku yakin dia senang bahwa ada anak muridnya yang ingat padanya.
“Terima kasih, Bruder... Aku doakan, Tuhan, berikan Bruder Aloysius kedamaian di sisiMu… Jasanya sangat besar buatku...”
Edit: Setelah sekian tahun, akhirnya saya berhasil memperoleh foto bruder ini, lewat Bruder Michael. Terima kasih bruder...
Ini biarawan yang paling banyak membentuk kepribadianku. Aku sudah SMP, di Bintang Laut. Pada usia sekianlah manusia berusaha menemukan jati dirinya, dan lewat teladan Bruder Aloysius inilah aku menemukan diri sendiri.
Dia mengajar aljabar; sekarang “matematika”. Bruder Aloysius berperawakan kecil. Tapi terkesan rapi sekali. Sama sekali tidak ada kesan galak di wajahnya, tapi juga tidak sangat murah senyum seperti Romo Wakers yg aku ceritakan sebelum ini. Yang ada adalah kesan “damai”.
Dia selalu bepergian dengan sepeda, dalam jubah putihnya (waktu itu semua bruder dan pastor pakai jubah putih ke mana pun pergi). Semua dilakukannya dengan tenang, sabar.
Untuk membantu murid2 agar mendapat nilai baik, dia sering memberi pelajaran tambahan sore hari. Tapi dia tidak memaksa; kalau merasa sudah tahu, tidak usah datang, begitu aku kenang dia. Dia menyadari bahwa murid punya berbagai tingkat kemampuan.
Aku ingat, suatu hari, dia menerangkan cara menyelesaikan soal aljabar (atau ilmu ukur, ya? Lupa)… Dia menyelesaikannya dalam, katakan saja, 10 baris. Dia lalu tanya: “Siapa yang bisa menyelesaikan dengan cara lain?” …. Seorang murid yg pandai menjawab, bisa… Dan murid itu menyelesaikannya dalam 8 baris. Mungkin guru lain akan merasa terhina kalau kalah dibanding muridnya. Tidak. Dia tidak. Belakangan aku merenung, dia pegang prinsip yang benar; guru yang pandai harus menelurkan murid yang lebih pandai. Kalau lebih bodoh, bukankah dunia akan penuh orang bodoh? Prinsip sederhana, tapi utama, yang mungkin dilupakan beberapa guru.
Lalu, ketika menerangkan sesuatu di kelas, tuuut…. suara kentut, keras, jelas, dihembuskan oleh teman di belakang. Seluruh kelas jadi riuh. Tawa dan ejekan bersahut2an… Bruder hanya tersenyum, lalu bilang: “Jangan disalahkan. Kadang manusia itu tidak bisa menahan kentut.” Semua lalu diam. Sungguh kagum dengan kata2 itu. Memang kita pasti bisa menahan kentut? Tidak. Kadang bisa, kadang tidak. Suatu kebenaran yang benar dan bruder ini mengingatkannya. (pada kasus guru lain, bruder juga, dia marah2 luar biasa. Sifat manusia memang berbeda2.)
Damai, welas asih, penuh pengertian, pintar, rapi, itu yang kukenang dari Bruder Aloysius. Sayang aku tidak bisa menemuinya. Tapi 20 tahun lalu, sebelum beliau meninggal, aku menulis surat padanya, bilang “terima kasih atas bimbingan dan teladannya” yang tidak akan kulupa sampai mati. Aku yakin dia senang bahwa ada anak muridnya yang ingat padanya.
“Terima kasih, Bruder... Aku doakan, Tuhan, berikan Bruder Aloysius kedamaian di sisiMu… Jasanya sangat besar buatku...”
Edit: Setelah sekian tahun, akhirnya saya berhasil memperoleh foto bruder ini, lewat Bruder Michael. Terima kasih bruder...
Para Biarawan yang Kukenang (4)
BRUDER BONIFACIO
Dia kepala sekolahku waktu SMA. Tidak terlalu banyak yang kurasakan, karena kita sangat jarang berkomunikasi. Cuma waktu dia kasih tugas menghitung uang koperasi, aku ketemu, krn harus lapor…
Tidak pernah terdengar mengamuk, apalagi menampar. Bahkan berkata2 pun jarang. Sebagai kepala sekolah, dia tidak mengajar. Tapi, dengan “sedikit kata” ini, murid2 justru paling hormat dan takut padanya.
Dengan tangan yang hampir selalu pegang pipa tembakau panjang melengkung, huncue, yang mirip taring gajah, atau kadang cerutu gede, dia berjalan2 perlahan2 keliling kelas; kadang sambil doa rosario. Sudah tua, jadi langkahnya pun pelan. Dari jauh sering sudah tercium bau tembakaunya, dan… hus…hus… Bruder datang, teman2 akan berkata.… Kita segera diam… tidak ribut lagi… Kadang dia masuk kelas sebentar utk menengok.
Yang mengesankan adalah sistem pendidikannya. Sewaktu masih dipegang olehnya, sekolah selalu berada pada ranking atas. Guru2 relatif tertib (meski ada juga yang ternyata peras murid). Murid2 lebih tertib lagi. Sepeninggal dia, aku dengar kualitas pendidikan jauh menurun… Sayang…
Terima kasih, Bruder Boni…
Terima kasih pada temanku Bik Siong, yang meminjamkan fotonya
Saturday, January 23, 2016
Dasar pikiran “Gereja yang miskin dan untuk orang miskin”
Ensiklik Evangelii Gaudium – Paus Fransiskus
Tempat khusus orang miskin dalam umat Allah
197. Allah memiliki tempat khusus untuk orang miskin, sedemikian sehingga dia sendiri "menjadi miskin" (2 Kor 8: 9). Seluruh sejarah penebusan kita ditandai dengan kehadiran orang miskin. Keselamatan datang kepada kita dari (kata) "ya" yang diucapkan oleh seorang gadis kalangan bawah dari kota kecil di pinggiran sebuah kekaisaran besar. Juruselamat lahir di palungan, di tengah binatang2, seperti anak-anak dari keluarga miskin; Ia dipersembahkan di Bait Allah bersama dua ekor burung tekukur, persembahan yang dibuat oleh mereka yang tidak mampu membeli domba (lih Luk 2:24; Im 5:7); Ia dibesarkan di sebuah rumah pekerja biasa dan bekerja dengan tangannya sendiri untuk memperoleh nafkah. Ketika Ia mulai memberitakan Kerajaan (Allah), banyak orang yang tersingkir mengikutinya, menggambarkan kata-kata-Nya: "Roh Tuhan ada pada-Ku, karena Dia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin" (Luk 4:18). Dia meyakinkan mereka yang terbebani oleh kesedihan dan hancur oleh kemiskinan bahwa Allah memiliki tempat khusus bagi mereka dalam hatinya: "Berbahagialah kamu yang miskin, kamulah yang empunya Kerajaan Allah" (Luk 6:20); Dia membuat diri-Nya sendiri salah satu dari mereka: "Aku lapar dan kamu memberi Aku makanan untuk dimakan", dan Ia mengajar mereka bahwa belas kasihan terhadap semua ini adalah kunci ke surga (lih Mat 25:5ff).
198. Untuk Gereja, pilihan memilih orang miskin terutama merupakan kategori teologis dan bukan kategori budaya, sosiologis, politik atau filosofis. Allah menunjukkan pada orang miskin "belas kasihan pertamanya". Pilihan ilahi ini memiliki konsekuensi bagi kehidupan iman semua orang Kristen, karena kita dipanggil untuk memiliki "pikiran ... yang terdapat dalam Yesus Kristus" (Flp 2: 5). Dengan ilham ini, Gereja telah membuat pilihan memilih orang miskin yang dipahami sebagai "bentuk khusus dari keutamaan dalam menjalankan amal Kristiani, yang disaksikan oleh seluruh tradisi Gereja". Pilihan ini – seperti telah diajarkan oleh Benediktus XVI – "tersirat dalam iman Kristen kita dalam Tuhan yang menjadi miskin bagi kita, sehingga dapat memperkaya kita dengan kemiskinan-Nya". Inilah sebabnya mengapa saya ingin Gereja yang miskin dan untuk orang miskin. Mereka (orang miskin) memiliki banyak hal untuk diajarkan pada kita…
Renungan:
Orang miskin memiliki banyak hal untuk diajarkan pada kita, kata Paus... Tapi pernahkah kita minta diajar oleh orang miskin? Pernahkah kita coba memandang kegiatan gereja, misal pembangunan gedung gereja, dari kacamata orang miskin?
Subscribe to:
Posts (Atom)