** Terjemahan bebas dr artikel New York Times
----------------------------------------
Sambil mengatakan ''kami dengan rendah hati meminta pengampunan,'' Paus Yohanes Paulus II tahun 2000 menyampaikan permintaan maaf yang paling luas dibanding sebelumnya, menyesali kesalahan gereja selama 2.000 tahun terakhir.
''Kita tidak bisa tidak mengakui pengkhianatan terhadap Injil yang dilakukan oleh beberapa saudara kita, terutama di milenium kedua," kata paus yg mengenakan jubah ungu untuk Prapaskah dalam homilinya. Mengakui penyimpangan masa lalu berguna untuk membangkitkan kembali hati nurani kita pd penyimpangan2 masa kini."
Tindakan pertobatan terbuka, yang dengan khidmat dijalin dalam liturgi Misa hari Minggu dalam Basilika Santo Petrus, merupakan momen yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Gereja Katolik Roma; tindakan ini tetap dilakukan oleh paus berusia 79 tahun yang sakitan ini meski ada keraguan di antara banyak kardinal dan uskupnya sendiri.
Untuk menggarisbawahi pentingnya permintaan maaf ini, tujuh kardinal dan uskup hadir di hadapan paus dan mengutip beberapa penyimpangan utama Katolik, dulu dan sekarang, termasuk intoleransi agama dan ketidakadilan terhadap orang Yahudi, wanita, masyarakat adat, imigran, orang miskin dan bayi yang belum lahir.
Paus juga menyebut penganiayaan umat Katolik oleh agama lain. ''Selain kita meminta pengampunan atas dosa-dosa kita, kita juga mengampuni dosa-dosa yang dilakukan oleh orang lain terhadap kita,'' katanya.
Pada awal masa kepausannya, tindakan Paus Yohanes Paulus II yang paling berani adalah di front politik, menghadapi komunisme di Uni Soviet, Eropa Timur dan Amerika Latin dan juga menantang pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan ekonomi kapitalisme. Tapi permintaan maaf, yang dikeluarkan pada masa senja kepausannya, secara teologis lebih berani.
Usahanya membersihkan hati nurani gerejanya selama milenium baru telah menimbulkan kecaman, namun hampir pasti akan menorehkan warisannya secara mendalam.
''Permintaan maaf ini tidak hanya berlaku untuk individu, tapi gereja secara keseluruhan, dan itu sangat penting," kata Pastor Lorenzo Albacete, yang mengajar teologi di Seminari St. Joseph di Yonkers.
Paus juga mengakui bahwa para pengikut gereja telah ''melanggar hak-hak kelompok etnis dan menghina budaya dan tradisi keagamaan mereka.'' Dia menyesalkan perpecahan antara Katolik dan cabang-cabang kekristenan lainnya, dan juga diskriminasi terhadap perempuan. Mengingat jumlah dosa yang dilakukan selama 20 abad, pastinya (permintaan maaf) ini agak terlalu pendek, kata Uskup Piero Marini, yang bertanggung jawab atas upacara kepausan, mengatakan sebelum misa.
Perlunya orang Katolik memeriksa hati nurani kolektif mereka adalah sesuatu yang telah dipikirkan paus selama bertahun-tahun ini, dan dia mengemukakan alasannya untuk itu dalam sebuah surat apostolik tahun 1994 yang berjudul ''Kedatangan Milenium Ketiga.'' Dia juga membahasnya secara pribadi dalam pertemuan dengan kardinal2 utama, dan proposalnya cukup mengkhawatirkan sehingga mereka meminta agar implikasi teologis dan historisnya dipelajari dulu secara mendalam.
Hasilnya adalah sebuah risalah 31 halaman oleh Komisi Teologi Internasional, yang, dengan pengawasan Vatikan, menguraikan dasar teologis dan juga batas permintaan maaf.
Ditulis oleh sebuah komite dan dirilis awal bulan ini, dokumen tersebut membahas kekhawatiran bahwa permintaan maaf tersebut akan disalahpahami atau disalahgunakan oleh orang-orang yang 'memusuhi gereja'. Ini juga mencerminkan kekhawatiran para teolog lainnya, yang harus bergumul dengan masalah-masalah kompleks seperti bagaimana gereja yang menganggap dirinya suci dapat mengakui kesalahan, dan apakah adil bagi gereja sekarang ini untuk mengutuk tindakan generasi sebelumnya yang dilakukan dengan niat baik meskipun keliru.
Dokumen tersebut menjelaskan bahwa gereja itu suci, namun ternoda oleh dosa anak-anaknya, dan membutuhkan 'pemurnian konstan'. Ini menyiratkan, namun tidak secara langsung membahas, masalah yang sulit mengenai apakah para pemimpin gereja masa lalu juga keliru.
''Dokumen tersebut seharusnya menuliskan dalam tulisan tebal bahwa 'anak-anak gereja' itu mencakup paus, kardinal dan pastor, dan bukan hanya umat di bangku gereja,'' komentar Pastor Thomas Reeves, editor majalah Yesuit America.'' Paus memiliki gagasan bagus yg oleh beberapa orang di Vatikan dikaburkan dengan mesin kabut.''
Pada sebuah konferensi pers pekan lalu, Kardinal Joseph Ratzinger, yang memimpin Kongregasi Doktrin Iman Vatikan, membahas masalah mengapa gereja merasa siap untuk mengakui kesalahan saat ini, dan tidak pada masa-masa sebelumnya.
Dia mengatakan runtuhnya ateis, sistem totaliter menyebabkan gereja berada dalam situasi baru, bebas untuk kembali memikirkan dosa-dosa kita.
Tetapi kesulitan bagi para ahli teologi dan sejarawan gereja untuk menentukan apa sebenarnya kesalahan yang pantas diketahui selama Perang Salib, Inkuisisi, perang suci, pembakaran kaum bidah dan pertobatan paksa orang Indian dan Afrika, membawa kita pd referensi yang lebih kabur tentang dosa-dosa yang dilakukan demi menyebarkan kebenaran.
Kardinal Ratzinger berdoa agar umat Katolik bisa sadar bahwa bahkan orang-orang di gereja atas nama iman dan moral, kadang-kadang menggunakan metode yang tidak sesuai dengan Injil.