Monday, August 12, 2013

Paus Fransiskus (6) : Bahasa yang sederhana

Ketika di Brasil, 27 Juli 2013, paus bertemu dengan para uskup Brasil. Dia pertama2 berbicara tentang mukjizat Aparecida, penemuan patung Bunda Maria oleh sekelompok nelayan miskin. Yang menemukan bukan profesor arkeologi dari University of Chicago di AS, tapi nelayan yang miskin, dan mungkin sekali bodoh, tak berpendidikan. Paus mencatat bahwa Tuhan selalu datang dengan pakaian yang sederhana, pakaian wong cilik. Dia menambahkan :
"Kadang kala, kita kehilangan orang karena mereka tidak memahani apa yang kita katakan, karena kita telah lupa bahasa yang sederhana dan mengimpor intelektualisme yang asing bagi masyarakat kita."
(At times we lose people because they don’t understand what we are saying, because we have forgotten the language of simplicity and import an intellectualism foreign to our people.)
Mungkin ada maksud lain dalam ucapan Paus selain apa yang tersurat di sini; entahlah. Tapi, kalimat yang tertulis di situ menyentuh unek-unek yang telah lama saya pendam. Mengapa surat2 resmi lain dari gereja, surat gembala, visi dan misi, juga kotbah, kadang memakai kalimat atau kata2 yang hanya dimengerti oleh kaum intelektual? 

Berikut adalah contoh yg saya ambil secara sembarang dari internet, tanpa maksud jelek apapun. Ini contoh visi dan misi gereja:

  • Communio dari aneka komunitas basis, yang beriman mendalam, yang solider dan dialogal, memasyarakat dan missioner”
  • Mengembangkan tata layanan pastoral berbasis data; memberdayakan komunitas teritorial lingkungan dan komunitas kategorial menjadi komunitas beriman yang bertumbuh dalam persaudaraan.
Lukisan Rasul Petrus
Mohon maaf kalau saya mengaku bodoh. Saya kadang tidak paham (benar2 tidak paham) arti dari kalimat tadi, khususnya  kata2 yang saya kasih warna biru. Saya pernah bertanya pada Ketua SPSE, apa sih arti "kategorial"? Saya sadar, mungkin sekali kalimat2 tadi mencomot dari pedoman yang diberikan oleh badan yang lebih tinggi. Tapi, yang menjadi pertanyaan, untuk siapa visi dan misi itu dibuat? Apakah khusus untuk Dewan Paroki? Kalau demikian, maka urusan selesai. Titik. Sebagian besar anggota dewan memahaminya. Atau untuk umat? Umat yang mana? Khusus untuk yang berpendidikan SMA? Perguruan tinggi?


Kalau mengambil semangat Paus Fransiskus yang mendambakan "gereja miskin, dari orang miskin", maka kalimat2 tadi seharusnya dapat dibaca oleh orang miskin, yang termiskin di paroki, yang umumnya bukan lulusan UI atau UGM, dan mungkin tidak lulus SD. Lalu, bagaimana cara termudah untuk menguji apakah pesan tadi dimengerti oleh mereka? Bawa saja tulisan itu ke tukang kebun dan tukang sampah di gereja, tanyakan apa dia memahami tulisan ini.  Begitulah pengertian saya tentang pesan Paus kita mengenai "orang miskin dan orang kecil"...

Beberapa kalimat/frasa lain yang sempat saya comot: 
  • menggerakkan karya-karya pastoral yang kontekstual
  • Gereja partikular Keuskupan XXX amat sadar akan keanekaragaman umatnya
  • semangat pertobatan ekologis dan gerak ekopastoral
Juga kata2 ini: 
  • relevansi, donasi, konteks, refleksi
Lalu, apakah tanpa kata2 intelektual itu pesan dapat sampai ke umat? Seharusnya lah. Mungkin lebih "masuk" ke hati umat. Karena dahulu rasul2 sebagian besar juga cuma nelayan, dan mereka menulis secara sederhana. Ketika Rasul Petrus menulis, "hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati," maka rekan2nya yang nelayan, tukang kayu dan penjual roti di sebelah rumahnya, juga para pemuka Sanhedrin dan kaum cendekiawan di Roma, semua memahami arti dari pesannya. Tak ada yang tersingkir.

_____________________________________



2 comments:

  1. Artikel diatasa "Bahasa yang sederhana" yg di posted oleh Pak Edi Nugroho ini saya sangat setuju sekali , karena agama itu tidak pandang status manusianya, jadi sebaiknya memakai bahasa yg sederhana sehingga semua umat dari kalangan manapun bisa memahaminya dan bisa mengikutinya. Terima kasih Pak Edi Nugroho yg telah mengajak kita semua umat katholik utk memikirkan saudara2 kita seiman.

    ReplyDelete
  2. Mohon maaf, saya sungguh tidak bermaksud menggurui. Saya bukan guru, bukan rohaniawan yang harus berkotbah tiap minggu, bukan manager yang mesti kasih seminar... Saya cuma merasa agak tidak nyaman saja...

    ReplyDelete