Tuesday, March 17, 2020

Cina, atau China, atau Tionghoa?

Untuk teman2 FKUI.
=====================
Aku keturunan Cina. Juga keturunan Jawa. Nenek ibu, yang sangat menyayangi ibuku (kalau tidur selalu dikeloni), orang Jawa asli. Juga nenek dr ayah. Jadi aku sangat pas kalau bicara tentang ini. Mengapa sebagian orang menuntut dipanggil Tionghoa dan bukan Cina? Latar belakang nya macam2.. Begini... 

Saudara iparku pernah cerita. Waktu kecil dia pernah berantem. Oleh lawan2nya dia dikatai "dasar Cina lu." Dia marah sekali, dan mereka berkelahi sampai usai. Peristiwa ini menggoreskan luka mendalam di hatinya. Sampai sekarang. Ada teman SMA yang kurang lebih juga mengalami hal semacam itu. Biasa lah. Anak SMA. Berantem. Maki memaki. Lalu sampai pada kata2 itu. Untung aku jarang berantem secara fisik. Pernah sekali saja. Jadi tidak mengalami peristiwa seperti itu. Maka juga tidak ada luka mendalam di hati. Jadi bisa melihat dengan kacamata netral.

Lalu, sewaktu masa Suharto, orang keturunan Cina dipaksa ganti nama. Banyak orang marah sekali dengan ini. Itu menginjak injak harga diri seseorang. Aku juga marah. Tidak suka. Bayangkan kalau kamu sendiri dipaksa harus ganti nama yang selama ini asing bagimu. Salah tulis huruf  saja, misal "Z"diganti "S", bisa bikin orang tidak suka. 

Tapi ada orang yang bisa menerima itu. Dengan legawa. Dan memakai nama barunya di rmh. Untuk seluruh keluarga... Misal ganti nama menjadi Hadi. Dan di rmh dipanggil dengan nama itu. Di keluarga ku tidak. Itu nama paksaan. Jadi untuk keluarga besar, kita tetap memakai nama lama untuk panggilan di rmh. Nama Cina. Akibatnya? Terjadi semacam dual personality: waktu di rmh di antara keluarga. Dan waktu di tempat kerja. Maka kadang kalau datang rekan kerja, dan berkata, "saya ketemu dengan pak xxxx, saudara Bpk," maka harus mikir dulu siapa itu. Ooo... adik kelima.

Tapi emosi bisa berubah. Setelah masa marah berlalu, aku melihat kenyataan, bahwa memang bagi yang bukan keturunan Cina, nama2 kami ini susah dilafalkan. Ada diftong seperti 'au' dalam 'Lauw', yang bener2 dilafalkan 1 huruf hidup, biasa (atau hampir selalu) salah dilafalkan "a-u" oleh orang bukan keturunan Cina. Ada ejaan Belanda dan Suwandi di mana huruf "I" dibaca "e", sehingga nama margaku, Kwik, dilafalkan berbeda2. Yang benar, agak berbunyi "e".  (Transliterasi untuk ini banyak sekali, mungkin terbanyak: Kwik, Kwee, Kwek, Quek, Que,  tergantung daerah)😊

Semua itu tidak dialami lagi oleh anak2ku, generasi berikutnya, yang tidak punya nama Cina lagi. Tidak ada dual personality lagi. Dari segi ini, dapat dikata pemaksaan ganti nama itu di belakang hari ada manfaatnya. Lebih menyatu. (Tapi ada anak ku yang menuntut dikasih nama Cina  😊). 

Kembali pada kebencian pada kata "Cina". Aku pernah tanya pada saudaraku di atas tadi. Kamu lebih suka disebut "lu anjing Cina" atau "lu anjing Tionghoa". Dia tertawa... Jadi sebenarnya yang tidak disukai adalah aroma kebencian dalam kata itu. Lalu yang disalahkan adalah "kata" nya. 

Lalu aku bilang, di antara teman2 ku orang Jawa asli, mereka memakai kata Cina, Cino, itu sebagai kata yang netral sama sekali secara emosional. Memang dr dulu begitu. Kalau menyebut Cino, ya Cino, tanpa maksud apa2. Tidak ada yang salah. Jadi seharusnya kata "Cina" bisa dipakai secara netral, kalau mau. 

Ada juga dulu rasa direndahkan. Karena dulu Cina identik dengan negara Cina. Miskin. Gaji buruh dan gurunya sepersepuluh dr gaji guru di Indonesia pada tahun 1970 awal. Ya, sepersepuluh.  Tapi sekarang Cina adalah negara adidaya kedua, bahkan cadangan devisanya terbesar di dunia, melebihi Amerika. Masih malu? Rendah diri? Ajaib... Aku bangga. Aku keturunan Cina. Meski di sana tidak diakui. (Aku juga bangga atas gen Jawa di setiap sel tubuhku. Suku bangsa yang berbudaya luhur, tinggi tutur katanya, yang menurunkan jiwa seni dan kepintaran dalam diriku). 

Lalu sebagian saudara yang luka batin tadi menuntut dipakai kata Tionghoa sebagai pengganti Cina. Ada hal yang dilupakan. Karena kata ini mayoritas dipakai di Jawa saja. Ini berasal dr bahasa daerah, Hokkian. Orang keturunan Cina yang dr luar daerah itu, keturunan Kongfu, Shantung, dll., tidak memakainya. Orang2 di Batam, Karimun, dsb., tidak mengenal kata itu, dulu... Mereka, orang2 keturunan Cina, dengan enak memakai kata "Cina" dalam obrolan sehari2. O, ya, bagaimana kalau kita, orang keturunan Cina menyebut orang Cina dalam kehidupan sehari2? Kita pakai kata "têng lang". Di Riau maupun di Jawa. (Lang = orang. Mungkin kata "orang" juga berasal dr sini. O lang → orang.). 

Lalu apakah kita perlu menuntut negara Cina untuk memakai "People's Republic of Tiongkok" sebagai pengganti "China"? Piye tho... Bingung, kan... Tionghoa food sebagai pengganti Chinese food? 

Orang Negro Amerika pernah protes besar atas penggunaan kata Negro yang dinilai menghina. Karena dipakai sebagai makian tadi. Dasar Negro bodoh. You.. Niger... Sekarang mereka damai dengan istilah "hitam". Black. Mereka black people. Ada persamaan dengan tuntutan sebagian orang keturunan Cina di sini dalam hal latar belakang. 

Akhirnya, mungkin dapat ditawarkan kata China. Ejaan Inggris. Tepat sama dengan yang dipakai di China kalau menuliskannya dalam huruf Latin. Mungkin lebih dapat diterima semua pihak?

Ada yang mengatakan, tapi itu tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Benar dalam satu segi. Tapi ingat, bahasa Indonesia juga ada pengecualian. Misal kata "Allah" seharusnya ditulis "Alah" kalau konsisten (coba lihat Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia). Buddha ditulis Buda. Ternyata tidak. Beberapa kata diberi pengecualian karena berbagai pertimbangan. 

Jadi, sebagai jalan tengah, saya usulkan dipakai saja ejaan kata "China" sebagai pengganti "Cina". Mungkin lebih damai. Saya sendiri? Terserah lu aja. Owe sudah tua. Cuma kasian dengan generasi mendatang yang mungkin masih akan terus mempersoalkan ini. Pdhal diperlukan kesatuan pikiran kalau mau sama2 maju... 

Semoga nanti semua pihak dapat mencapai kesepakatan demi kemajuan bangsa.