Tuesday, August 8, 2017

Siapa Santo Pierre Favre itu?


November, dua tahun lalu, Paus Fransiskus mengumumkan kanonisasi Pierre Favre, SJ, alias Peter Faber atau Petrus Faber (1506-46). Bagi banyak orang Katolik, pertanyaannya mungkin, "Siapa dia?" Bagi kebanyakan pastor Yesuit, tanggapannya adalah "Akhirnya !"(diakui santo juga).

Paus Fransiskus memuji orang yang sering disebut "Yesuit Kedua" ini. "[Dia mau] berdialog dengan semua," kata paus, "bahkan dengan lawan-lawannya." Dia mampu membuat keputusan yang hebat, tetapi juga mampu bersikap lembut dan penuh kasih. Favre terbuka, dermawan, rendah hati luar biasa, khususnya pd lawan bicaranya, orang2 Protestan baru.

Dua teman sekamarnya adalah santo yg sangat terkenal, Ignatius Loyola dan Fransiskus Xaverius.
........
........

Ketiganya bertemu di Collège Sainte-Barbe di Universitas Paris, pada tahun 1529. Ignatius mantan tentara. Ia tokoh terkenal di kampus dengan disiplin spiritual dan kebiasaannya mengemis sedekah. Pada usia 38 tahun, Ignatius jauh lebih tua daripada Pierre dan Fransiskus, yang keduanya berusia 23 tahun itu. Ignatius, tentara yang dulu bangga dengan kedudukannya itu skg duduk di meja kecil di samping pemuda2 di kelasnya. Bersama Favre dan Xavierius, mereka berbagi "ruangan yang sama, meja yang sama dan tas yang sama."

Ignatius rendah hati. Tekatnya utk hidup sederhana mengesankan teman barunya. Begitu pula kecerdasan spiritualnya. Bagi Favre, yg suka mengritik diri sendiri secara berlebihan, Ignatius adalah seorang dewa penolong.  "Dia memberi saya pemahaman tentang hati nurani saya," tulis Favre. Akhirnya, Ignatius memimpin Favre melalui Latihan Rohani, yang secara dramatis mengubah hidup Favre. Sebaliknya Favre mengajar Ignatius filsafat Yunani. 

Favre menghabiskan masa kecilnya di sawah sebagai gembala. Ignatius, di sisi lain, bertahun-tahun hidup sebagai pegawai istana dan tentara, mengalami pertobatan yang dramatis, menyebabkan dirinya menerima hukuman yang ekstrem, berjalan ke Roma dan Tanah Suci dalam mengejar tujuannya mengikuti kehendak Tuhan.

Akhirnya, Ignatius membantu Pierre mengambil keputusan penting melalui kebebasan yang ditawarkan dalam Latihan Rohani. Pierre menulis dalam buku hariannya:

"Sebelum itu -- maksudku sebelum memilih jalur hidupku melalui pertolongan yang diberikan Tuhan melalui Inigo (Ignatius) -- aku selalu merasa tidak yakin dengan diri sendiri dan tertiup angin kian kemari: kadang-kadang ingin menikah, terkadang jadi dokter, kadang-kadang seorang pengacara, kadang-kadang profesor teologi, kadang-kadang seorang klerus tanpa gelar, kadang-kadang berharap saya jadi biarawan."

Pada waktunya, Pierre memutuskan untuk bergabung dengan Ignatius di jalur barunya, yang tujuan utamanya masih belum jelas. Pierre, kadang-kadang disebut "Yesuit Kedua," sangat antusias dengan usaha ini sejak awal. "Akhirnya," tulisnya, "kita menjadi satu dalam keinginan dan kehendak dan bersatu dalam tekat teguh untuk menjalani hidup yang kita jalani hari ini ...." Temannya mengubah hidupnya. Di belakang hari, Ignatius mengatakan bahwa Favre adalah orang yang paling terampil dari semua Yesuit dalam memberikan Latihan Rohani.

Ignatius juga akan mengubah kehidupan teman sekamarnya yang lain. Francisco de Jassu y Javier, lahir tahun 1506, di istana Javier. Xaverius. Dia seorang atlet dan siswa yang luar biasa. Dia memulai studinya di Paris pada usia 19. Setiap penulis biografi menggambarkan  Xaverius sebagai pemuda gagah dengan ambisi yang tak terbatas. Don Francisco ini tidak berlatar hidup sederhana spt Favre.

Fransiskus Xavierius jauh lebih sulit berubah daripada Peter Favre. Baru setelah Peter meninggalkan penginapan mereka untuk mengunjungi keluarganya, ketika Ignatius sendirian dengan pemuda Spanyol yang sombong ini, Ignatius bisa perlahan-lahan mematahkan perlawanan Xavierius yang keras kepala. Menurut legenda, Ignatius mengutip satu baris dari Perjanjian Baru, "Apa keuntungannya jika mereka mendapatkan dunia, tapi kehilangan diri sendiri?" Pertobatan Fransiskus "setegas Favre tapi lebih dramatis karena hidupnya pada titik itu telah menunjukkan tanda-tanda ambisi duniawi."
Di kemudian hari, Ignatius akan menjadi administrator utama yang memimpin Serikat Yesus. Xaverius diutus Ignatius menjadi misionaris, berkeliling dunia, dan mengirim kembali surat-surat yang dipenuhi dengan petualangan yg membuat bulu kuduk berdiri bagi saudara2 Yesuit-nya. (surat-surat Xavierius mirip dengan film aksi-petualangan pada masa itu). Favre, sebaliknya, menghabiskan sisa hidupnya sebagai konselor spiritual yang dikirim untuk menyebarkan iman Katolik selama Reformasi. Karyanya lebih diplomatis, membutuhkan negosiasi rumit melalui berbagai perang agama.

Ignatius, Fransiskus dan Pierre memulai komitmen yang mereka buat kepada Tuhan dan satu sama lain pada tahun 1534. Di sebuah kapel di lingkungan Montmartre di Paris, ketiga orang tersebut, bersama empat teman baru lainnya mengucapkan sumpah kemiskinan dan kesucian bersama. Bersama-sama mereka menawarkan diri mereka kepada Tuhan. (Tiga orang lainnya yang akan melengkapi daftar "Yesuit Pertama," akan bergabung setelah tahun 1535.)

Persahabatan di antara para Yesuit awal itu sangat erat. Mereka saling mengasihi dan tidak pernah melupakan sahabatnya meski terpisah jauh. Mereka sering berkirim surat.

Tapi persahabatan mereka bukan berpusat pada diri sendiri, tapi diarahkan pd tujuan mulia mereka. Maka Ignatius tidak segan meminta Fransiskus meninggalkannya utk menjadi salah satu misionaris besar gereja. Dia sadar, dia mungkin tidak akan pernah melihat sahabatnya lagi. Dan itu terjadi...

Selama perjalanannya, Xavierius akan menulis surat kepada Ignatius, tidak hanya melaporkan negara-negara baru yang telah dieksplorasi dan orang-orang baru yang dia hadapi, namun juga mengungkapkan kegembiraannya. Keduanya saling merindukan. Keduanya menyadari kemungkinan akan mati sebelum bisa bertemu lagi. 

Setelah bertahun-tahun menempuh perjalanan yang melelahkan yang membawanya dari Lisbon ke India, Jepang, Kalimantan, Maluku. Fransiskus melangkah ke sebuah kapal yang menuju ke Cina, tujuan akhirnya. Pada bulan September 1552, dua belas tahun setelah dia mengucapkan selamat tinggal kepada Ignatius, dia mendarat fdi pulau Shangchuan (Sancian), di Cina. Dia jatuh sakit karena demam, dan terkurung di sebuah gubuk di pulau itu. Dia meninggal, dan tubuhnya dikuburkan di situ. Tubuhnya yg msh utuh kemudian dibawa ke Malaka, dikuburkan sementara di sana, lalu dibawa ke kubur akhirnya di Goa, India. (Kalau ke Malaka, jangan lupa berkunjung ke bekas kuburannya yg terbuka smp skg). 

Beberapa bulan kemudian, dan tidak menyadari kematiannya, Ignatius di Roma, menulis surat meminta Fransiskus untuk kembali.

Ke Jerman

Akan halnya Pierre Favre, waktu itu politik dan agama di Eropa sedang gunjang ganjing. Gereja Katolik dituntut melakukan pembaharuan dan reformasi. Pada tahun 1520-an, suara paling keras dan paling menentukan diserukan oleh Martin Luther di Jerman. Pada tahun 1521, bertahun-tahun sebelum memutuskan hubungan dengan Gereja Katolik, raja Henry VIII mencela ajaran Luther sehingga Paus Leo X mengatakan bhw kerajaan Inggris ini adalah "Pembela Iman." Orang-orang awam terkenal seperti Erasmus dan Thomas More juga menulis, menentang Luther tapi juga mendesak pembaruan rohaniwan. Tapi pemisahan dr Roma tetap berjalan, terutama di Jerman, dan ini merupakan pukulan yang parah pd gereja. Ketika Paus Paulus III meminta para Yesuit muda untuk merebut kembali daerah yg dengan cepat hilang karena ajaran-ajaran Protestan, Pierre adalah salah satu yang pertama dipilih untuk bertugas oleh Ignatius.

Pada tahun 1541, Pierre memulai pelayanan yang mengirimnya melintasi Eropa, ke Spanyol, Portugal, dan Belgia, tapi sebagian besar waktunya dihabiskan di Jerman, pusat reformasi Protestan. 

Segera setelah kedatangannya di kota kecil Speyer di Jerman pada 1542, Pierre melihat situasi yg suram. Orang-orang Katolik dengan cepat beralih ke Protestan. Perdebatan2 yg dilakukan antara para Reformator dan Katolik menunjukkan kekuatan pihak Protestan; Mereka memiliki apa yang tidak dimiliki oleh para teolog Katolik: front persatuan, organisasi yang lebih baik, dan kesederhanaan pesan. Dan para politisi dari kedua belah pihak memiliki taruhan dalam hasil perdebatan tersebut. Pierre berada di atas panggung tragedi yang sedang berlangsung, dan skornya tidak bagus untuk Gereja. Pernah karena putus asa, dia ingin meninggalkan posnya di Jerman.

Dari perdebatan2 yg dia ikuti, akhirnya dia yakin bhw argumen intelektual, dan perdebatan sengit tidak akan dapat mengubah siapa pun. Kekudusan pribadi adalah kata kuncinya. 

Maka dia banyak berdoa untuk diri sendiri dan untuk orang-orang yang akan dia temui. Dia berdoa saat dia melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain agar pelayanannya akan berbuah. 

Dia berkhotbah, memberi ceramah, memberi Latihan Rohani dan mendengar pengakuan sampai larut malam. Dia banyak bertemu dengan orang2, dan orang-orang tertarik kepadanya. Jika seseorang akan meninggalkan gereja, jika ada orang membutuhkan dorongan untuk bertekun dalam iman, Pierre mendengarkan dengan saksama dan menanggapi secara pastoral. Dengan kasih, dia mengembalikan orang ke Gereja. Dia menghindari pokok diskusi yang dapat menimbulkan pertengkaran. Pada masa itu, ketika toleransi agama belum dikenal, pandangannya luar biasa.

Pada tanggal 1 Agustus 1546, akibat kelelahan, Pierre meninggal di Roma dalam perjalanan ke Konsili Trent di mana dia akan bertugas sebagai penasihat teologis.

Jangan berdebat dengan sdr2 Protestan, kata Paus Fransiskus. Utamakan kasih. Mari berdoa bersama dan bekerja bersama, sehingga nanti pd waktunya semua akan menjadi satu... Ini juga yg disuarakan oleh Pierre Favre, hampir 500 th lalu.